ANTARA SIDDIQ & ZINDIQ
(kata2 Ulamak Muhaqqiqin)
Sesungguhnya jalan terang menuju akhirat itu dapat di tempuh dengan syariat, tharikat dan hakikat (kifayatul at qiya’ hal 8 – 9) Dari tiga disiplin ilmu itu, satu sama lain saling kontradiktif, khususnya ilmu syariat fiqih dengan tarekat dan hakikat yang lebih di kenal dengan sebutan sufi.
PENGERTIAN para sufi dalam rangka pengembara’an spiritual dan ilmuan berbeza dengan pengertian yang di pakai oleh para Teologi filsafat, dan para ulama’ feqih. Apabila ulama’ feqih menggunakan metode logis-teoritis (aqliyah).
Para sufi menggunakan rasa (dzauq). Para sufi beranggapan pengertian/pemahaman melalui logis-teoritis menekuni kepada sesuatu yang kasat mata sedangkan rasa (Dzauq) jauh melampaui hal itu, ia dapat mencapai alam metafisika (gaib). Sedangkan ulama’ fiqih memakai kaedah nahnu nahkumu bi al- dzawahir ( kita memberi hukum dengan menggunakan lahiriyahnya) Dalam menyingkapi sebuah persoalan.
PENGERTIAN para sufi dalam rangka pengembara’an spiritual dan ilmuan berbeza dengan pengertian yang di pakai oleh para Teologi filsafat, dan para ulama’ feqih. Apabila ulama’ feqih menggunakan metode logis-teoritis (aqliyah).
Para sufi menggunakan rasa (dzauq). Para sufi beranggapan pengertian/pemahaman melalui logis-teoritis menekuni kepada sesuatu yang kasat mata sedangkan rasa (Dzauq) jauh melampaui hal itu, ia dapat mencapai alam metafisika (gaib). Sedangkan ulama’ fiqih memakai kaedah nahnu nahkumu bi al- dzawahir ( kita memberi hukum dengan menggunakan lahiriyahnya) Dalam menyingkapi sebuah persoalan.
Para sufi menganalogikan pengalaman spiritual yang di hasilkan lewat Dzauq itu sama dengan rasa yang terdapat dalam panca indra. Merasakan secara langsung rasa manis pada madu dan pahit dalam jamu. Sedangkan Dzauq boleh di dapatkan dengan jalan riyadloh dan mujahadah, para sufi ini senang sekali beribadah duduk di masjid sambil berdzikir dan mereka kurang berminat untuk mengetahui ilmu syar’i guna mengharap mendapat ilmu langsung dari Alloh, para sufi ini mendapat keritik dari para ulama’ yang dapat mengopromikan antara sufi dan syari’at seperti imam Al-Ghazali beliau menyatakan seperti itu sama dengan halnya orang yang ingin kaya tanpa usaha.
Bahkan Ibnu al-Jauzi mengelompokkan sufi seperti ini kedalam talbis iblis (tipuan iblis) di terangkan juga dalam Al Ad-qiya’ syari’at itu ibarat perahu, thariqat itu ibarat samudra dan ma’rifat itu ibarat mutiara yang tak ternilai harganya. Barang siapa yang menginginkan mutiara tersebut hendaknya naik perahu menyelam ke dasar samudra dan kemudian mengambilnya.
Bahkan Ibnu al-Jauzi mengelompokkan sufi seperti ini kedalam talbis iblis (tipuan iblis) di terangkan juga dalam Al Ad-qiya’ syari’at itu ibarat perahu, thariqat itu ibarat samudra dan ma’rifat itu ibarat mutiara yang tak ternilai harganya. Barang siapa yang menginginkan mutiara tersebut hendaknya naik perahu menyelam ke dasar samudra dan kemudian mengambilnya.
Hakikat itu tidak akan dapat di raih terkecuali dengan jalan syari’at Al Malibari dalam i’anatut tholibin menegaskan hakikat tanpa syari’at batal (tidak di terima) dan syari’at tanpa hakikat berakibat fatal (sia-sia)
Contoh yang pertama (hakikat tanpa syari’at batal ) adalah ketika engkau berkata kepada seseorang “ sholatlah Dzuhur !!! “ lalu dia menjawab “ jika Allah menakdirkan aku beruntung, maka aku akan di masukkan kedalam surga meskipun aku tidak mengerjakan sholat atau ia menjawab “ jika Allah menakdirkan diriku sholat maka aku pasti akan melaksanakannya”. Orang seperti ini hanya melihat urusan dari tinjauan batin saja ( hakekat ).
Contoh yang kedua (syareat tanpa hakekat berakibat fatal / sia-sia) adalah ketika ada orang mengatakan “ saya tidak mengerjakan sholat kecuali supaya masuk surga atau mengatakan saya tidak akan masuk surga terkecuali dengan shalat. Pelaksanaan shalat seperti ini akan sia-sia menurut pandangan kaum sufi, maksud dari sia-sia adalah keberadaan syariat itu seolah-olah seperti tidak ada, (tidak dapat pahala). Karena masuk surga itu semata-mata anugrah Allah. Bukan karna perantaraan amal, meskipun pelaksanaan syareat tersebut sudah menggugurkan kewajiban (menurut fiqih sudah sah) (Bujairomi alal khotib 1- hal 8 ).
Contoh yang pertama (hakikat tanpa syari’at batal ) adalah ketika engkau berkata kepada seseorang “ sholatlah Dzuhur !!! “ lalu dia menjawab “ jika Allah menakdirkan aku beruntung, maka aku akan di masukkan kedalam surga meskipun aku tidak mengerjakan sholat atau ia menjawab “ jika Allah menakdirkan diriku sholat maka aku pasti akan melaksanakannya”. Orang seperti ini hanya melihat urusan dari tinjauan batin saja ( hakekat ).
Contoh yang kedua (syareat tanpa hakekat berakibat fatal / sia-sia) adalah ketika ada orang mengatakan “ saya tidak mengerjakan sholat kecuali supaya masuk surga atau mengatakan saya tidak akan masuk surga terkecuali dengan shalat. Pelaksanaan shalat seperti ini akan sia-sia menurut pandangan kaum sufi, maksud dari sia-sia adalah keberadaan syariat itu seolah-olah seperti tidak ada, (tidak dapat pahala). Karena masuk surga itu semata-mata anugrah Allah. Bukan karna perantaraan amal, meskipun pelaksanaan syareat tersebut sudah menggugurkan kewajiban (menurut fiqih sudah sah) (Bujairomi alal khotib 1- hal 8 ).
Kedua benteng/fahaman ini haruslah dapat di kompromikan, bila tidak maka akan seperti orang laki-laki yang mengatakan “ aku laksana pintu yang tidak akan bergerak kecuali apabila Allah menggerakkan aku. Imam Sahal bin Abdulloh Attustari di tanyai prihal laki-laki tersebut. Menurutnya perkataan ini hanya di katakan oleh salah satu dari dua orang, ada kalanya ia seorang siddiq ( maqom spiritual tinggi di dunia sufi ) dan ada kalanya ia seorang zindiq (orang yang hatinya kufur tapi menampakkan keimanan)
Seorang siddiq mengatakan perkataan ini sebagai isyarat pada keyakinan bahwa tegaknya segala sesuatu hanya di tangan Alloh dan ia melaksanakan kewajiban-kewajiban secara sempurna dan menjaga batas-batas penghambaan terhadap Allah (ubuddiyah)
Seorang Zindiq mengatakan untuk menyandarkan segala sesuatu kepada Allah dengan tujuan menggugurkan cerca’an orang lain terhadap dirinya dan melepaskan diri dari agama dan kewajibannya.
Seorang siddiq mengatakan perkataan ini sebagai isyarat pada keyakinan bahwa tegaknya segala sesuatu hanya di tangan Alloh dan ia melaksanakan kewajiban-kewajiban secara sempurna dan menjaga batas-batas penghambaan terhadap Allah (ubuddiyah)
Seorang Zindiq mengatakan untuk menyandarkan segala sesuatu kepada Allah dengan tujuan menggugurkan cerca’an orang lain terhadap dirinya dan melepaskan diri dari agama dan kewajibannya.
Memahami fiqih
Fiqih sebagai media hukum untuk publik (khalayak) umum maka juga harus punya kaedah yang dapat di terima umum untuk itu fiqih menggunakan kaedah hukum nanhnu nahkumu bial zawahir, objek dan sandaran hukum hanyalah sesuatu yang bersifat indrawi menggunakan kenyataan yang tertangkap oleh indra, tidak ada pertimbangan apa yang ada di balik kenyataan itu.
Namun faham itu lantas membuat kita cenderung rasionalis tanpa memandang bahwa manusia sebenarnya dalam menentukan sebuah kebijakan hukum itu terbatas. Sebab selain De facto yang merupakan realitas pemikiran itu sendiri, kita juga mengenal istilah De jure yang menjadi pembatas dari realiti agar tidak lepas dari norma-norma dalam menentukan sebuah kebijakan.
Namun faham itu lantas membuat kita cenderung rasionalis tanpa memandang bahwa manusia sebenarnya dalam menentukan sebuah kebijakan hukum itu terbatas. Sebab selain De facto yang merupakan realitas pemikiran itu sendiri, kita juga mengenal istilah De jure yang menjadi pembatas dari realiti agar tidak lepas dari norma-norma dalam menentukan sebuah kebijakan.
Karna kebijakan hukum yang hanya berdasarkan realiti yang terlihat (Zhahir) sudah sah menurut pandangan fiqih, sebab fiqih hanyalah perangkat untuk mengadili realiti kongkrit bukan realiti tersembunyi yang tidak dapat di tangkap oleh publik.
Satu contoh dalam masalah wali hakim ketika ada seorang perempuan datang pada hakim mengatakan dirinya adalah perantau dari tempat yang jauh dan tidak punya suami ingin menikah dengan seorang laki-laki maka hakim dapat langsung mengawinkannya dengan menggunakan setatus wali hakim, berdasarkan pengakuan tadi tanpa mempermasalahkan kemungkinan perempuan tadi berdusta.
Dalam muamalat (Transaksi) seperti jual beli menurut fiqih uang dan barang harus halal namun karna yang di buat patokan adalah hukum Dzahir maka transaksi sudah di anggap sah asalkan uang atau barang tersebut tidak di ketahui secara jelas.
Satu contoh dalam masalah wali hakim ketika ada seorang perempuan datang pada hakim mengatakan dirinya adalah perantau dari tempat yang jauh dan tidak punya suami ingin menikah dengan seorang laki-laki maka hakim dapat langsung mengawinkannya dengan menggunakan setatus wali hakim, berdasarkan pengakuan tadi tanpa mempermasalahkan kemungkinan perempuan tadi berdusta.
Dalam muamalat (Transaksi) seperti jual beli menurut fiqih uang dan barang harus halal namun karna yang di buat patokan adalah hukum Dzahir maka transaksi sudah di anggap sah asalkan uang atau barang tersebut tidak di ketahui secara jelas.
Wusul terhadap Alloh merupakan suatu jalan yang tidaklah mudah di lalui oleh sembarang orang, harus melalui banyak tahapan- tahapan dan ujian, Al Kurdi dalam karyanya Tanwirul Qulub mengatakan bahwa ma’rifat itu bagaikan sari dari buah kelapa takkan boleh di dapati kecuali dengan beberapa tahapan, pertama harus mengupas kulit luar dari pada buah kelapa, ini adalah tugas dari pada fiqih di mana fiqih akan membahas dari sisi Dzahirnya dengan bijak fiqih akan melaksanakan kepada siapapun tanpa pandang bulu.
Al Hallaj dan kawan-kawan adalah korban dari pada perlaksanaan fiqih dalam menyikapi sebuah hukum dari segi Dzohir setelah tahap pengupasan kulit luar selesai maka masih ada tahapan kulit dalam ini adalah tugas dari pada sufi sebagai doktor sepesialis dalam yang bertugas mengobati segala penyakit yang menggerogoti dari dalam berupa congkak, takabbur, riya’ dan lain-lain.
Al Hallaj dan kawan-kawan adalah korban dari pada perlaksanaan fiqih dalam menyikapi sebuah hukum dari segi Dzohir setelah tahap pengupasan kulit luar selesai maka masih ada tahapan kulit dalam ini adalah tugas dari pada sufi sebagai doktor sepesialis dalam yang bertugas mengobati segala penyakit yang menggerogoti dari dalam berupa congkak, takabbur, riya’ dan lain-lain.
Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang dapat lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang boleh mengobati penyakit hati itu.
Karena, tasawuf menumpukan pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur’an. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Karena, tasawuf menumpukan pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur’an. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Kita harus memahami istilah atau terminologi yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada ketergesa-gesaan dalam menghukum sesuatu masalah.
Misalnya dalam dunia sufi dikenal istilah zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci segala hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dan sebagainya. Padahal kalau kita teliti dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para sufi, maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi di atas. Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali tidak mengurangi arti zuhud dan tawakal
Empat orang imam madzhab ahlus sunnah, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi perjalanan yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.
Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu kerohanian yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Imam Maliki (Malik bin Anas – Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, Juz. 2 hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.” (Kasyf al-Khafa Juz 1, hal. 341)
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.” (Kasyf al-Khafa Juz 1, hal. 341)
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan kerohanian yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” (Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi saw dan meninggalkan bid’ah.”
Imam Malik, berkata,
“Man tashaw¬wafa bila tafaqqaha faqad tazandaqa, waman tafaqqaha bila tashawwafa faqad tafassaqa, waman jama’a baynahuma faqad tahaqqaqa (Siapa yang bertasa¬wuf tanpa berfiqih, ia zindiq. Siapa yang berfiqih tanpa bertasawuf, ia fasik. Dan siapa yang menggabungkannya, ia ada¬lah seorang yang sempurna agama¬nya).”
Makna qaul ini, kita ambil kalimat yang pertama, misalnya, “Siapa yang bertasawuf tanpa berfiqih, ia zindiq”, yakni, orang yang melarutkan dirinya da¬lam kesufian saja tanpa memahami sya¬ri’at, dan menggali syari’at, digolongkan sebagai zindiq, sebagaimana kaum yang berkhalwat tanpa diisi dengan ibadah. Maka apa isi khalwatnya, kecuali berdiam diri saja?
Berkata imam Muhammad bin Ismail bin Abbas Al Warraq, beliau adalah seorang imam besar di Bagdad , muhaddist Baghdad, di kenal saebagai wali besar di di sana pada masanya. Beliau lahir tahun 293 hijri, dan wafat pada bulan Rabi'ul Akhir tahun 378 hijri.
Adapun maqulul qauli beliau sebagai berikut:
من اكتفى بالكلام من العلم دون الزهد والفقه تزندق
Siapa saja yang merasa cukup dengan ilmu tauhid, dan tidak mau belajar dan mendalami lagi ilmu tasawuf dan fiqh, maka dia itu zindiq.
ومن اكتفى بالزهد دون الفقه والكلام ابتدع
Barangsiapa yang merasa cukup dengan ilmu tasawuf, tapi tidak mau mendalami dan mempelajari fiqh dan tauhid,maka dia itu ahli bid'ah
ومن اكتفى بالفقه دون الزهد والورع تفسق
Barangsiapa merasa cukup dgn ilmu fiqh-nya, tetapi tidak mau mendalami dan belajar tasawuf dan tauhid, maka dia fasiq.
ومن تفنن في الأمور كلها تخلص
Barangsia mempelajari dan mendalami semua ilmu di atas,dan benar-benar ahli, maka ia akan selamat
Imam muhammad bin Idris As Syafi'i lahir tahun 150 h, wafat tahun 204 hijri, seorang imam besar mujtahid mutlaq pegangan orang di seluruh dunia berkata :
ما اتخذ الله وليا جاهلا
Tidak ada Allah menjadikan wali nya itu jahil
إن لم يكن العلماء أولياء فليس لله من ولي
Jikalau keadaan para alim ulama yang mengamalkan ilmunya itu bukan wali, maka tidak ada wali Allah.
قال الزمخشري في الكشاف : الولي من تولى الله بالطاعة فتولاه الله بالكرامة
Imam Mahmud bin umar zamakhsari, lahir tahun 467 h, wafat tahun 538 h, seorang ahli lughat (bahasa), ahli tafsir, memiliki gelar dan berkhidmat kepada Allah,
Sebelumnya beliau mu'tazillah, tapi setelah kalah debat dengan imam Ghozali , beliau taubat dan meninggalkan Mu'tazillah-nya, dalam tafsir Al Kasysyaf beliau mengatakan :
"Wali itu adalah orang yang bertanggung jawab kepada Allah dengan melaksanakan tho'at, dan Allah berikan dia karamah.
وقال السعد التفتازاني والجلال المحلي : الولي العارف بالله حسبما يمكن . المواظب عل
ى الطاعات المجتنب للمعاصي المعرض عن الانهماك في اللذات والشهوات
ى الطاعات المجتنب للمعاصي المعرض عن الانهماك في اللذات والشهوات
Imam Mas'ud bin Umar Sa'duddin Taftazani lahir tahun 712 h,wft thn 793 h, seorang imam ahli lugat, ahli fiqh,ahli mantiq pada zaman nya.
Juga pendapat tentang wali oleh imam Muhammad bin Ahmad Jalaluddin Almahalli, lahir tahun 791 h,wafat tahun 864 h, beliau adalah seorang ulama besar, imam besar, salah satu pengarang tafsir terkenal yaitu Tafsir Jalalain sebelum disempurnakan oleh imam Sayuthi murid beliau, kedua imam ini mengatakan,
Wali itu adalah orang yang arif billah, atau mengingat Allah setiap detik masa, di manapun, istiqamah dalam beribadah, menjauhi maksiat dan menghindari berlebihan pada kelezatan dan syahwat.
Imam Ibrahim bin Umar Albiqa'i lahir tahun 809 h,wafat thn 885 h, seorang ahli tarikh, tafsir pada masanya mengatakan :
الولي هو العالم والعالم هو العامل بعلمه
Wali itu orang alim, dan orang alim itu orang yang mengamalkan ilmunya.
Para ulama’ diatas merupakan pengikut sufi namun mereka tidak sekali kali mengabaikan dan meremehkan fiqih/sunnah mereka adalah pakar dan mujtahid dalam ilmu fiqih ,sunnah. Al-Habib taufiq As-Saqaf menjelaskan bahwa tharikoh itu ibarat masak sayur maka untuk menghasilkan masakan yang lezat tentu sebelum dimasak kita harus memilih lebih dahulu sayuran yang bagus segar tidak layu itu diibaratkan ilmu syari’at (fiqih)
Sebelum menginjak pada tharekat maka harus matang betul ilmu syari’at. Maka dari kedua disiplin ilmu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Fiqih tanpa tashawwuf bagaikan binatang tanpa kendali.
Sebelum menginjak pada tharekat maka harus matang betul ilmu syari’at. Maka dari kedua disiplin ilmu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Fiqih tanpa tashawwuf bagaikan binatang tanpa kendali.
(ulama ulama yang disebut diatas semuanya adalah orang orang besar ,pejuang islam sejati, ahlillah, ahli hakikat wa ma'rifat, muqarrabun, ulama muhaqqiq, tergolong daripada Aulia Assolihin yang tidak pernah meninggalkan/meremehkan syariat/sunnah syariat/sunnah Annabi s.a.w).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.