Waktu puasa yang disepakati kaum muslimin dan telah berlangsung sejak masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya hingga masa kita sekarang, berawal dari terbit fajar shadiq dan berakhir hingga terbenamnya matahari secara sempurna di balik ufuk.
Hal tersebut ditunjukkan oleh Al-Quran, Sunah dan ijmak kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187
Malam dalam bahasa Arab, dimulai sejak matahari terbenam.
Disebutkan dalam qamus Al-Muhith (1364), malam: Dari sejak matahari terbenam hingga terbit fajar shadiq atau terbit matahari.”
Disebutkan dalam Lisanul Arab, (11/607), Malam: setelah siang, berawal dari terbenamnya matahari.
Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ)
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187
Menunjukkan bahwa waktu berbuka adalah ketika matahari terbenam berdasarkan hukum syariat.”
(Tafsir Al-Quranil Azim, 1/517)
Bahkan sebagian ahli tafsir mengingatkan bahwa penggunaan huruf jar (إلى) dalam ayat ini menunjukkan segera, karena huruf ini bermakna akhrinya sebuah tujuan.
Ulama Thahir Ibnu Asyur rahimahullah berkata, (إلى الليل) dipilihnya kata (إلى) untuk menunjukkan disegerakannya berbuka saat matahari terbenam. Karena (إلى) tidak memanjang bersama tujuan, berbeda dengan huruf (حتى). Yang dimaksud di sini adalah mengaitkan kesempurnaan puasa dengan malam.” (At-Tahrir wa At-Tanwir, 2/181)
Semua ini dikuatkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua Kitab Shahih dari Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخاري، رقم 1954 ومسلم، رقم 1100)
“Jika malam menjelang di sini dan siang pergi di sini, dan matahari terbenam, maka orang yang berpuasa hendaknya berbuka.”
(HR. Bukhari, no. 1954, Muslim, 1100)
Dalam hadits ini, kedatangan malam di sebelah timur dikaitkan dengan terbenamnya bulatan matahari di balik ufuk. Ini perkara yang kasat mata. Karena gelap berawal di sebelah timur langsung setelah sinar matahari terbenam di balik ufuk.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ungkapan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “(Jika malam menjelang di sini). Yaitu dari sebelah timur. Yang dimaksud gelap di sini adalah yang kegelapan secara kasat mata.
Dalam hadits ini disebutkan tiga perkara; Karena, walaupun asalnya berkaitan, akan tetapi secara zahir tidak berkaitan. Boleh jadi malam menjelang di sebelah barat, akan tetapi tidak terjadi malam secara hakiki, tapi hanya karena faktor yang menutup sinar matahari. Demikian pula halnya berlalunya siang.
Berikutnya, diikat dengan sabda, (dan matahari terbenam). Untuk memberi isyarat bahwa kedatangan malam dan berlalunya siang harus secara hakiki, yaitu melalui terbenamnya matahari, bukan karena sebab lain.”
(Fathul Bari, 4/196)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Setiap satu faktor dari ketiga faktor ini mengandung dua faktor lainnya dan saling berkaitan. Karena boleh jadi dia berada di sebuah lembah atau semacamnya, sehingga dia tidak dapat menyaksikan terbenamnya matahari. Maka ketika itu dia berpedoman dengan datangnya gelap dan hilangnya sinar.”
(Syarah Muslim, 7/209)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.