Pages

Memaparkan catatan dengan label berbuka puasa. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label berbuka puasa. Papar semua catatan

Ahad, 28 Mei 2017

BATASAN WAKTU BERBUKA

BATASAN WAKTU BERBUKA

Allah SWT berfirman, “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam .…”
(QS al-Baqarah [2]: 187).

Berdasarkan ayat di atas, waktu berbuka puasa bagi orang yang berpuasa adalah ketika telah yakin matahari telah terbenam sebagai tanda waktu malam sudah datang.

Imam Thabari dalam tafsirnya menjelaskan, Allah SWT telah menetapkan batasan akhir waktu berpuasa, yaitu datangnya waktu malam, sebagaimana Allah SWT menetapkan batasan boleh makan, minum, berhubungan suami istri, dan waktu mulai berpuasa adalah datangnya awal waktu siang (terbitnya fajar).

Hal itu menunjukkan tidak boleh berpuasa pada waktu malam sebagaimana tidak boleh berbuka saat siang pada hari-hari berpuasa.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menegaskan, ayat di atas menunjukkan waktu berbuka puasa itu adalah ketika terbenamnya matahari.

Hal itu dipertegas oleh hadits Nabi SAW, dari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Apabila malam datang dari arah sini dan siang menghilang dari arah sini, serta matahari telah tenggelam maka orang yang puasa boleh berbuka.’”
(HR Bukhari dan Muslim).

Hal ini merupakan ijma kaum Muslimin dari zaman Nabi sampai sekarang. Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim mengatakan, “Shalat Maghrib disegerakan setelah terbenamnya matahari dan ini merupakan ijma kaum Muslimin.

Dengan demikian batasan waktu berbuka bagi orang yang berpuasa yaitu ketika matahari telah terbenam dimana tibanya waktu shalat maghrib.

Bagi orang yang berpuasa, disunahkan Rasulullah untuk menyegerakan berbuka puasa dan tidak menunda-nunda berbuka. Sahl bin Sa’d meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Manusia itu akan terus berada dalam kebaikan selagi mana dia menyegerakan berbuka puasa.”
(HR Bukhari dan Muslim).

Dalam kitab Syarah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan, hadis ini berisi anjuran untuk menyegerakan berbuka setelah yakin matahari telah terbenam.

Ibnu Abdul Barr dalam kitab Tamhid juga menjelaskan, disunahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta menyegerakan berbuka itu adalah setelah yakin terbenamnya matahari.

Tidak boleh seseorang berbuka ketika ia masih ragu apakah matahari sudah terbenam atau belum karena sesuatu yang difardhukan jika diwajibkan dengan keyakinan maka tidak boleh keluar darinya kecuali dengan keyakinan juga.

Jadi, dari keterangan di atas jelaslah bahwa tanda tibanya berbuka bagi orang-orang yang berpuasa adalah telah terbenamnya matahari. Seluruh fuqaha juga sepakat bahwa waktu puasa adalah dari terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib).

Sedangkan adzan maghrib yang dikumandangkan lebih dahulu sebelum terbenamnya matahari maka tidak bisa dijadikan acuan bagi orang-orang yang berpuasa.

Oleh sebab itu, kita harus betul-betul yakin bahwa adzan yang dikumandangkan betul-betul sudah tepat pada waktunya sehingga puasa yang kita lakukan sah menurut ukuran syariah.

Adapun bagi seorang muazin, jika azannya dijadikan tanda bagi orang-orang yang berpuasa di sekitarnya untuk berbuka maka hendaknya dia secepatnya azan begitu matahari terbenam agar jangan menjadi sebab orang-orang mengakhirkan berbuka puasa.

Dibolehkan baginya untuk berbuka dengan sesuatu yang tidak memakan waktu lama, seperti minum air.

Sedangkan, jika azannya itu tidak ditunggu orang sekitarnya untuk dijadikan tanda berbuka puasa, seperti azan untuk diri sendiri atau azan untuk orang-orang yang berada dekat dengannya maka tidak apa-apa baginya berbuka dulu sebelum azan.

Sebab, orang-orang yang berada di dekatnya itu tetap akan berbuka bersama dia meskipun ia tidak mengumandangkan adzan. Wallahu a’lam bish shawab.

Selasa, 23 Mei 2017

Waktu puasa yang disepakati kaum muslimin dan telah berlangsung sejak masa Nabi

Waktu puasa yang disepakati kaum muslimin dan telah berlangsung sejak masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya hingga masa kita sekarang, berawal dari terbit fajar shadiq dan berakhir hingga terbenamnya matahari secara sempurna di balik ufuk.

Hal tersebut ditunjukkan oleh Al-Quran, Sunah dan ijmak kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ    (سورة البقرة: 187)

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187

Malam dalam bahasa Arab, dimulai sejak matahari terbenam.

Disebutkan dalam qamus Al-Muhith (1364), malam: Dari sejak matahari terbenam hingga terbit fajar shadiq atau terbit matahari.”

Disebutkan dalam Lisanul Arab, (11/607), Malam: setelah siang, berawal dari terbenamnya matahari.

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat ini, “Firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ)

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” SQ. Al-Baqarah: 187

Menunjukkan bahwa waktu berbuka adalah ketika matahari terbenam berdasarkan hukum syariat.”
(Tafsir Al-Quranil Azim, 1/517)

Bahkan sebagian ahli tafsir mengingatkan bahwa penggunaan huruf jar (إلى) dalam ayat ini menunjukkan segera, karena huruf ini bermakna akhrinya sebuah tujuan.

Ulama Thahir Ibnu Asyur rahimahullah berkata, (إلى الليل) dipilihnya kata (إلى) untuk menunjukkan disegerakannya berbuka saat matahari terbenam. Karena (إلى) tidak memanjang bersama tujuan, berbeda dengan huruf (حتى). Yang dimaksud di sini adalah mengaitkan kesempurnaan puasa dengan malam.” (At-Tahrir wa At-Tanwir, 2/181)

Semua ini dikuatkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua Kitab Shahih dari Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ   (رواه البخاري، رقم 1954 ومسلم، رقم 1100)

“Jika malam menjelang di sini dan siang pergi di sini, dan matahari terbenam, maka orang yang berpuasa hendaknya berbuka.”
(HR. Bukhari, no. 1954, Muslim, 1100)

Dalam hadits ini, kedatangan malam di sebelah timur dikaitkan dengan terbenamnya bulatan matahari di balik ufuk. Ini perkara yang kasat mata. Karena gelap berawal di sebelah timur langsung setelah sinar matahari terbenam di balik ufuk.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ungkapan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “(Jika malam menjelang di sini). Yaitu dari sebelah timur. Yang dimaksud gelap di sini adalah yang kegelapan secara kasat mata.

Dalam hadits ini disebutkan tiga perkara; Karena, walaupun asalnya berkaitan, akan tetapi secara zahir tidak berkaitan. Boleh jadi malam menjelang di sebelah barat, akan tetapi tidak terjadi malam secara hakiki, tapi hanya karena faktor yang menutup sinar matahari. Demikian pula halnya berlalunya siang.

Berikutnya, diikat dengan sabda, (dan matahari terbenam). Untuk memberi isyarat bahwa kedatangan malam dan berlalunya siang harus secara hakiki, yaitu melalui terbenamnya matahari, bukan karena sebab lain.”
(Fathul Bari, 4/196)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Setiap satu faktor dari ketiga faktor ini mengandung dua faktor lainnya dan saling berkaitan.  Karena boleh jadi dia berada di sebuah lembah atau semacamnya, sehingga dia tidak dapat menyaksikan terbenamnya matahari. Maka ketika itu dia berpedoman dengan datangnya gelap dan hilangnya sinar.” 
(Syarah Muslim, 7/209)

Selasa, 1 Julai 2014

MAKAN DULU SEBELUM SOLAT JIKA SUDAH TERHIDANG

MAKAN DULU SEBELUM SOLAT JIKA SUDAH TERHIDANG
Ada orang menyangka bahawa sekalipun makanan sudah terhidang, yang terbaik itu solat dahulu, selepas itu barulah makan. Sehingga ada yang apabila mereka duduk di keliling hidangan, kemudian bangun meninggalkannya dan pergi menunaikan solat. Amalan seperti itu dirasakan oleh sesetengah pihak sebagai lebih mengikut kehendak agama. Namun, jika kita merujuk kepada hadis-hadis Nabi s.a.w kita akan dapati itu amalan yang silap. Antaranya hadis daripada Anas bin Malik r.a.: bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apabila telah dihidangkan makan malam, maka mulakanlah makan sebelum kamu menunaikan solat Maghrib, dan jangan kamu tergopoh-gapah semasa makan malam kamu.”(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis yang lain daripada Abdullah bin Umar, baginda s.a.w. bersabda:
“Apabila dihidangkan makan malam seseorang kamu, sedangkan solat (jamaah) telah didirikan, maka mulailah dengan makan malam. Janganlah dia tergopoh-gapah sehinggalah dia selesai.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Riwayat di atas juga menambah bahawa Ibn Umar r.a. apabila dihidangkan untuknya makanan, manakala solat pula sedang didirikan, maka beliau tidak mendatangi solat melainkan hingga beliau selesai makan, walaupun beliau mendengar bacaan imam.
Hikmah daripada arahan Nabi s.a.w agar mendahulukan makan ialah agar pemikiran kita tidak diganggu ketika solat dengan ingatan kepada makanan yang telah kita lihat terhidang di hadapan mata sebelum bersolat tadi. Ini boleh mengganggu kekusyukan solat seseorang. 
Dengan itu para ulama menyatakan dimakruhkan solat setelah makanan terhidang di hadapan mata. Ini merangkumi semua solat, bukan khusus pada solat Maghrib sahaja. Kata al-Imam an-Nawawi (meninggal 676H) dalam Sharh Sahih Muslim mengulas hadis-hadis berkaitan: “Di dalam hadis-hadis tersebut dimakruhkan solat apabila terhidangnya makanan yang hendak dimakan kerana ia boleh mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan khusyuk”.
Ini bukan bererti kita mengutamakan makan dari solat. Sebaliknya kita makan terlebih dahulu kerana ingin menjaga kekusyukan solat.
Al-Imam Ibn Hajar al-`Asqalani (meninggal 852H) dalam Fath al-Bari memetik ungkapan Ibn Jauzi (meninggal 597H):
“Ada orang menyangka bahawa mendahulukan makanan sebelum solat adalah bab mendahulukan hak hamba ke atas hak Tuhan. Sebenarnya bukan demikian, tetapi ini adalah menjaga hak Allah agar makhluk masuk ke dalam ibadahnya dengan penuh tumpuan. Sesungguhnya makanan mereka (para sahabat) adalah sedikit dan tidak memutuskan mereka daripada mengikuti solat jemaah.”

Dengan itu, makan dahulu setelah makanan terhidang kemudian baru bersolat adalah sunnah Nabi s.a.w. Maka apabila makanan terhidang, ibubapa hendaklah memberikan anak-anak makan terlebih dahulu ketika berbuka, sehingga mereka selesai maka barulah bersolat. Inilah sunnah.
Melakukan susunan yang seperti itu, mendapat pahala. Namun makanlah dengan kadar yang diajar oleh Islam, bukan makan sehingga mengah lalu gagal bersolat dengan sempurna.
Di sana ada cara untuk mengelakkan kemakruhan ini, iaitu elakkan menghidangkan makanan terlebih dahulu sebelum solat. Elakkan mata terpandang kepada makanan yang telah dihidangkan. Selepas selesai bersolat barulah dihidangkan. Namun, jika kelaparan itu kuat, bau makanan telah masuk ke hidung, sehingga ingatan kepada makanan sangat kuat sekali belum melihatnya, hendaklah dia makan terlebih dahulu.
Juga sudah pasti tidak makruh bersolat sekalipun makanan sudah terhidang jika keinginan kepada makanan tiada. Ini kerana punca (‘illah) larangan bersolat semasa makanan terhidang ialah agar tidak mengganggu kusyuk. Jika seseorang memang tiada keinginan kepada makanan, sudah pasti tidak menggangu kusyuk sekalipun makanan sudah terhidang.