Nafsu Nyata & Nafsu Tersembunyi.
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at, itu tersembunyi dan tidak nyata. Mengubati yang tersembunyi itu sangat payah terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian. Namun ketika nafsu menyelinap pada ketaatan, kebajikan, amaliah, sangat tersembunyi.Nafsu dalam konteks ini memiliki tiga karakter:
》Takut pada sesama makhluk,
》keinginan (hasrat, nafsu) yg besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu.
》Rela pada kemahuan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu bersamaan dengan selera nafsu.
Sedangkan nafsu dibalik taat dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain, lebih suci, kemudian muncul untuk manipulasi, dengan tujuan tertentu atau imbalan tertentu, yang menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita beribadah, melakukan kebajikan dan amaliyah lainnya, agar kita disebut? Agar disebut lebih dibanding yang lain? Mendapat pujian dan kehormatan orang lain? Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang memiliki mata hatilah yang mengenal karakter itu.
Kerana itu nafsu sering bersembunyi dibalik bendera agama, dibalik ibadah dan gerakan keagamaan, bahkan nafsu merangsang penampilan orang-orang saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga mengingatkan berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu masuk padamu, ketika orang lain tidak memandangmu.”Kenapa demikian? Karena riya’ itu bertumpu pada pandangan makhluk. Ketika anda bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas, karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun disebut riya’. Sebab unsur makhluk masih ada di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra, menegaskan, “Beramal demi pandangan manusia itu adalah syirik. Sedangkan tidak melakukan amaliah karena agar dipandang manusia, adalah riya’. Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik. Ikhlas kerana Allah jika anda meninggalkan kedua faktor di atas.”Ketika seseorang berlaku riya’ dalam khalwat(suluk), secara diam-diam pula ia ingin disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah saya sudah suluk, saya sudah baiah, saya sudah khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan: “Upayamu untuk meraih kemuliaan agar makhluk mengetahui keistemewaanmu, menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali tidak benar.”
Karena, menurut Syeikh Zarruq ra, manakala anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu, pasti anda tidak senang jika yang lainNya tahu amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali jika ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan, “Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar musyrik dalam ibadahnya,kerana orang yang berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya dipandang oleh selain yang dicintainya."
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang senang mempamer amalnya pada orang lain ia telah riya’. Dan siapa yang ingin dikenal maqam keruhanianya oleh orang lain, ia adalah pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar bagi Allah orang yang senang dengan kemasyuran(populariti).”
Menghapuskan riya’ dan membersihkannya, sudah seharusnya dilakukan dengan memandang kepada Allah Swt dan menolak selainNya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.