Pages

Ahad, 7 Oktober 2018

Mempertanyakan Kembali Syahadat Kita

Mempertanyakan Kembali Syahadat Kita

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.
(QS. Al-Ikhlas 1-4)

Kalimat Ahadun Ahad, membuat saya terkenang dengan sosok Bilal bin Rabah, seorang budak milik kafir Quraisy Ummayah bin Khalaf, yang akhirnya dibeli oleh Abu Bakar As-Shiddiq dan dibebaskan.

Bilal, berdasarkan sejarah Islam, disiksa oleh tuannya agar kembali pada agama nenek moyangnya, agar kembali menyembah berhala.

Siksaan yang diterima Bilal tidak main-main: dicambuk, dipukul, bahkan ditindih oleh batu besar! Laa haula walaa quwwata illa billaah, bila Anda menggantikan tempat Bilal, akan sangat mungkin Anda langsung mati.

Tidak herankah Anda apa yang membuat Bilal begitu kuat menghadapinya? Bilal diberi makan dan minum oleh tuannya hanya agar memastikan dia tidak mati sebelum kafir kembali.

Mental, ya, kekuatan mental Bilal sangat kuat, jauh lebih kuat dari mental tuannya sendiri, Umayyah, yang bahkan malu ketika ditertawakan orang-orang karena tidak bisa membuat budaknya sendiri kembali kafir. Ada sesuatu yang benar-benar membuat orang-orang Arab saat itu heran, apa sih yang membuat Bilal begitu tabah?

Bilal hanya berkata ‘Ahad! Ahad! Ahad!’ saat disiksa tuannya, inilah dia jawabannya, Bilal hanya sudi mengakui Allah sajalah sebagai illah yang berhak disembah.

Dengan mengikrarkan syahadat, asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadurrasulullaah, Bilal tahu konsekuensi dari syahadatnya, yaitu mengesakan Allah, dan memperakui  Muhammad sebagai pesuruh Allah.

Nah, dari sini kita bisa merenungkan, apakah kita sudah bersyahadat? Apakah kita sudah memahami dengan benar makna syahadat?

Siapkah dan sudahkah kita melakukan konsekuensinya? Oleh karena itu, mari, kita ulas bersama-sama kalimat syahadat yang selama ini kita lafazkan dalam sholat.

Laailaaha illallaah, secara tidak tepat sering diterjemahkan sebagai ‘tiada Tuhan selain Allah’, makna ini bisa jadi berbahaya.

Menjadi berbahaya sebab dapat merubah makna dalam lafadz bahasa Arab yang asli. Terjemahan kalimat tersebut perlu dibuat lebih spesifik lagi agar tidak menimbulkan penafsiran ganda.

Untuk melihat pemaknaan akibat terjemahan yang kurang tepat, mari ambil contoh kalimat berikut ini, “tidak ada kucing melainkan pasti berkumis”, makna kalimat tersebut adalah semua kucing pasti berkumis.

Nah, jika makna ‘tiada Tuhan selain Allah’ ditafsirkan dengan cara seperti ini, maka makna yang muncul adalah tidak ada Tuhan melainkan itu pasti Allah.

Pemaknaan ini justru sangat jauh dengan maksud mengesakan Allah, justru, pada pemaknaan seperti ini tersirat bahwa Allah SWT adalah segala sesuatu yang dianggap Tuhan, jika batu, bulan, atau berhala saya anggap Tuhan, maka itulah Allah. Saya tekankan sekali lagi bahwa pemaknaan dengan cara seperti ini adalah salah.

Makna yang lebih tepat adalah ‘Tiada illah yang berhak disembah kecuali Allah’, dari sini muncul kata illah yang perlu dipertajam makna agar tidak menimbulkan penafsiran berbeda.

Kata illah secara bahasa memang berarti ‘Tuhan’, namun apa yang dimaksud dengan Tuhan? Apakah syaratnya sesuatu itu dikatakan Tuhan?

Agar sesuatu dapat dikatakan tuhan, maka setidaknya ada beberapa keadaan yang mesti terpenuhi yaitu
1) dianggap mampu memperkenankan do’a ketika diseru;
2) menjadi tempat bergantung dan berlindung;
3) dicintai dan diikuti. Al-Qur’an sendiri juga memberikan contoh illah-illah selain Allah.

a) Hawa Nafsu.
Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illah-nya (QS. Al-Furqon: 43)

b) Orang shaleh di masa lampau.
Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai illah selain Allah
(QS. At-Taubah: 31).

Makna illah selain Allah itu tidak sempit, tidak terbatas pada berhala saja, sebagaimana yang kebanyakan masyarakat kita saat ini pahami.

Ketika sesuatu sudah Anda cintai atau diikuti perkataanya, Anda berani melakukan apapun untuk sesuatu tersebut, maka berhati-hatilah, bisa jadi Anda tidak sempurna dalam mengesakan Allah. Sesuatu itu bisa jadi uang, jabatan, atau pasangan.

Jika selama kita masih mengakui illah selain Allah, maka kita tidak paham makna syahadat. Dengan begitu, keislaman kita masih dipertanyakan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.