Mari Kita Berangkat
Wahai para pecinta, bangkitlah! [1]
Saatnya kita terbang ke langit,
cukup sudah kita tinggal di alam ini,
saatnya bertolak ke sana....
Sungguhpun indah sangat
ke dua taman ini, [2]
kita lewati saja,
bergerak menuju ke Sang Tukang Kebun.
Mari teguhkan ruku kita ke arah Laut, [3]
layaknya arus deras,
mari kita tunggang gelombang,
melaju di permukaan sang Laut.
Mari kita berangkat,
dari pemukiman penuh kesedihan ini, [4]
menuju pesta pernikahan;
mari ubah wajah kita,
dari pucat-pasi,
menjadi segar merona.
Hati kita keras berdegup,
gemetar bagai daun dan ranting kecil
yang takut jatuh tercampak; [5]
mari mencari suaka
di Wilayah Terlindung.
Tak mungkin mengelak dari kesakitan,
selama kita dalam pengungsian, [6]
tak mungkin mengelak dari debu,
selama kita tinggal di padang pasir.
Bagai burung surgawi bersayap hijau,
dan berparuh tajam, [7]
mari kita jadi pengumpul gula,
bercengkerama di kebun tebu.
Terkurung kita oleh bentuk-bentuk,
ciptaan Sang Pencipta tak-berbentuk,
Sudah puas kita dengan semua bentuk ini,
mari menuju Dia yang tanpa padanan. [8]
Bentuk-bentuk ini adalah tanda-tanda
dari Sang Pembentuk tanpa-tanda;
tersembunyi dari pandangan iblis,
mari, kita menuju kepada yang tak-bertanda.
Di jalan penuh ujian ini,
Cinta adalah sang pemandu,
menuntun gerak maju kita.
Bahkan jika ada seorang raja [9]
menawarkan perlindungan,
lebih selamat kita menempuh jalan
dalam jama'ah.
Kita bagaikan air yang menetes
dari atap yang bocor,
mari kita memancar dari atap bocor itu
dan mengalir melalui saluran-air.
Kita melengkung bagai busur-panah,
karena tali-busur itu
berada di tenggorokan kita sendiri,
ketika kita telah menjadi lurus,
maka kita akan melesat,
bagai anak-panah terlepas dari busurnya. [10]
Meringkuk kita bagai tikus dalam lubang,
gemetar takut pada kucing;
jika kita anak-singa,
tentu kita menghampiri induk-singa. [11]
Mari berjuang
agar jiwa kita sejernih cermin
yang merindukan bayangan sesosok Yusuf;
mari menghampir kepada keindahan Yusuf
seraya membawa sebuah hadiah. [12]
Sekarang, mari kita diam,
agar Sang Pemberi Perkataan
yang mengatakan semua ini;
bersama sabda-Nya,
mari kita berangkat. [13]
Catatan:
[1] Yang diseru disini adalah jiwa (nafs) suci
para pecinta, sebagai warga alam malakut
atau "Langit" (as-sama'i).
[2] "Ke dua taman:" ke dua kategori alam ciptaan-Nya,
yang memang sangat indah, yaitu alam lahiriah maupun
alam batiniah (alam yang tak-nampak oleh mata jasmaniah).
[3] Tentang "Laut;" Fenomena yang dapat indera
kita persepsikan itu bagaikan gelombang laut
yang sampai ke tepi pantai (persepsi) kita.
Gelombang berderu karena tiupan angin (rih) ke
permukaan "Laut".
"Ruku ke arah Laut," ketundukan kepada maksud
dari penciptaan yang sampai kepada kita.
[4] "Pemukiman penuh kesedihan:" alam dunia.
[5] "Takut" terpisah dari kehendak-Nya, lihat
QS [35]: 28.
[6] Selama jiwa berada dalam raga di alam dunia.
[7] Mengingatkan pada isi sebuah hadits Rasulullah SAW,
"... arwah para syuhada di sisi Allah pada Hari Kiamat
(berada) dalam rongga burung hijau yang memiliki
sarang-sarang yang bergantungan pada 'Arsy ..."
(Sunan Darimi no 2303, Sunan Tirmidzi no 1565).
[8] "... tak dapat Dia dibandingkan dengan sesuatu..."
(QS [42]: 11).
[9] Keselamatan bagi para pencari itu ada dalam
penyatuannya dengan para ahli-taubat. Bukan sembarang
berserikat, karena "kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu saling menzalimi satu sama lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
dan amat sedikitlah mereka ini." (QS[38]: 24)
[10] Dengan ibadah, raga dilatih agar menjadi "busur"
yang dapat melontarkan "anak-panah" (jiwa). Melesat
ketika ingat (dzikr) Allah, sampai lupa diri-sendiri.
[11] "Tikus" berburu remah-remah, yaitu ahli-dunia
yang mencari sasaran-sasaran duniawiah.
"Singa" adalah pemburu apa yang Allah kehendaki.
[12] Menjadi cermin, "berakhlak dengan akhlak Sang
Khalik," atau "akhlakul-karimah."
[13] Mari menapaki jalan menuju "mati dari diri sendiri,"
dengan cara berlatih lebur-musnah billah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.