Pages

Rabu, 28 Mac 2018

Bayaran menyampaikan ajaran Al-Quran

Bayaran menyampaikan ajaran Al-Quran

Allah SWT berfirman:

قُلْ مَاۤ اَسْئَــلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ اَجْرٍ وَّمَاۤ اَنَاۡ مِنَ الْمُتَكَلِّفِيْنَ
qul maaa as`alukum 'alaihi min ajriw wa maaa ana minal-mutakallifiin

"Katakanlah (wahai Muhammad):  Aku tidak meminta kepada kamu sebarang bayaran kerana menyampaikan ajaran Al-Quran ini, dan bukanlah aku dari orang-orang yang mengada-ngada ."

(QS. Sad 38: Ayat 86)

Menegakkan keadilan

Menegakkan keadilan

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰۤى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ  ۗ  اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَا ۗ  فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰۤى اَنْ تَعْدِلُوْا   ۚ   وَاِنْ تَلْوٗۤا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah, sekalipun terhadap diri kamu sendiri, atau ibu bapa dan kaum kerabat kamu. Kalaulah orang (yang didakwa) itu kaya atau miskin (maka janganlah kamu terhalang daripada menjadi saksi yang memperkatakan kebenaran disebabkan kamu bertimbang rasa), kerana Allah lebih bertimbang rasa kepada keduanya. Oleh itu, janganlah kamu turutkan hawa nafsu supaya kamu tidak menyeleweng dari keadilan. Dan jika kamu memutar-balikkan keterangan ataupun enggan (daripada menjadi saksi), maka sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan."

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 135)

Sunnatullah

Sunnatullah
Allah SWT berfirman:

سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚ  وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

"Yang demikian adalah menurut Sunnatullah (undang-undang peraturan Allah yang telah lalu; dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang perubahan bagi Sunnatullah itu."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 62)

Isnin, 19 Mac 2018

Semua makhluk Allah senantiasa berzikir mngingat Allah.

Semua makhluk Allah senantiasa berzikir mngingat Allah.

Kalau kita cermati, kira-kira tumbuhan, hewan, dan benda-benda yang ada di sekitar kita berdzikir pada Allah SWT, menyebut dan mengagungkan asma-asma-Nya. Dalam al-qur'an telah disebutkan:

تسبح له السماوات السبع والأَرض ومن فيهن وإن من شيء إلّا يسبِّح  بِحَمْدِه وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبيحهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غفُورًا

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
(Qs. Al-Israa’: 44)

Lalu kira-kira seperti apa ya tumbuhan itu berdzikir? Sekumpulan cendikiawan yang mengadakan penilitian terhadap tumbuhan menemukan bahwa sebagian tumbuhan mengeluarkan bunyi-bunyi halus yang tidak mampu didengar oleh telinga manusia.

Dan setelah ada penelitian lebih lanjut tak ada yang dapat menjawab tentang suara tersebut, dan akhirnya salah satu ilmuwan muslim dengan meruju’ kepada Al-Qur’an mengatakan bahwa suara tersebut adalah nada-nada lafadz dzikir mereka kepada Allah Swt. Subhanallah!

Akan tetapi -Wallahu a'lam bis-showab-, hanya Allah SWT Yang Maha Tahu, Yang Maha mengerti dengan detail bagaimana tumbuhan berdzikir kepada-Nya, yang pasti dan yang termaktub dalam Al-Qur'an bahwasannya semua makhluk yang ada di bumi dan dilangit pastilah mereka berdzikir kepada Allah Swt.

Jika tumbuhan dan makhluk-makhluk Allah selain manusia (seperti: hewan, tumbuhan, batu, air, dan benda-benda yang lainnya) selalu berdzikir kepada Allah SWT lalu bagaimana dengan kita selaku khalifatu-l ‘alam?

Kita yang sudah jelas-jelas oleh Allah SWT dikarunia akal fikiran serta hati untuk selalu menyebut asma-Nya dimanapun dan kapanpun, sungguh tidak layak untuk lalai dalam berdzikir kepada-Nya.

Bagaimanakah kita harus berzdikir?
Berdzikir tidak harus duduk manis menghadap kiblat di dalam masjid, lalu membaca dzikir-dzikir sepanjang hari, sepanjang waktu.

Ya... itu memang salah satu cara berdzikir, tetapi hal yang paling utama dalam berdzikir adalah mengingat Allah SWT di setiap detik kita, di setiap menit kita, di setiap jam kita, di setiap denyut nadi kita, di setiap langkah kita di manapun kita berada.

Berdo'a merupakan salah satu cara berdzikir pada Allah SWT, karena dengannya sudah menunjukkan bahwa manusia mengingat Tuhannya yang selalu membutuhkan-Nya, Allah SWT berfirman:

وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فاليستجيبوا لي واليؤمنوا بي لعلهم يرشدون

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila dia berdo'a kepada-Ku. Dan hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar memperoleh kebenaran.”
(Qs. Al-Baqoroh: 182)

Hendaknya ketika berdo'a memperhatikan waktu-waktu yang mustajab untuk itu. Adapun waktu-waktu yang mustajab untuk berdo'a sangat banyak, di antaranya: berdo'a di antara adzan dan iqomah, ketika bersholawat, ketika turun hujan, ketika berperang di jalan Allah, ketika khatam al-Qur'an, ketika sujud, ketika berbuka puasa, dan ketika hati sedang hudhur (hadir/khusyu').

Dalam waktu-waktu seperti ini hendaklah kita berdo'a, bertawajjuh (menghadap) pada Allah, karena Dia-lah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada seluruh hamba-Nya.

Lalu kenapa kita harus berdzikir??
Firman Allah Swt dalam Al-qur’an:

فاذكروني أذكركم
Artinya: ”Ingatlah Aku (Allah), maka Aku (Allah) akan mengingatmu.”
(Qs. Al-Baqarah: 152)

Jadi, kalau kita tidak mau mengingat Allah, maka jangan pernah bermimpi bahwa Allah SWT akan mengingat kita.

Ya, memang Allah SWT tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya di dunia ini tanpa ada pengecualian sedikitpun, tetapi lain halnya di akhirat nanti, hanya manusia-manusia tertentulah yang akan mendapatkan pertolongan Allah di hari yang tiada pertolongan selain dari-Nya, di hari yang tidak ada lagi gunanya harta dan anak-anak kecuali siapa yang mendatangi Allah Swt dengan hati yang bersih.

يوم لاينفع مال و لا بنون # إلا من أتى الله بقلب سليم

Selain Allah akan mengingat kita, dengan berdzikir juga bisa menentramkan hati dan jiwa kita yang selalu ada rasa  gundah, resah dan gelisah, seperti diterangkan dalam Al-Qur’an:

الذين آمنوا وتطمئنّ قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئنّ القلوب
Artinya: “Dan orang- orang yang beriman yang hatinya tentram dengan mengingat Allah, bukankah dengan mengingat Allah hatinya menjadi tentram?!”
(Qs. Ar-ro’du: 28)

Bayangkan! Bagaimana seseorang harus menjalani hidupnya dengan gundah dihatinya?! Dengan resah yang berkepanjangan?! Dengan gelisah yang tiada berakhir?!

Perlu kita ketahui bahwa, tidak ada amalan lisan yang lebih afdhol atau utama setelah tilawatu-l qur'an selain berdzikir kepada Allah SWT, dan dengannya akan dikabulkan hajat-hajat kita, karena dzikrullah adalah washilah (perantara) seorang hamba kepada Robb-Nya.

Selain itu Allah SWT telah menjanjikan pahala yang besar serta ampunan bagi hamba-Nya yang mau berdzikir kepada-Nya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

Artinya: “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al-Ahzab: 35)

Coba perhatikan! Kenapa kebanyakan orang zaman sekarang cepat lupa? Menurut salah seorang guru di universitas Al-Ahgaff banat, itu disebabkan karena kurangnya berdzikir kepada Allah Swt.

Lihat bagaimana orang-orang sekarang sudah banyak yang ghofil (lalai-adm) untuk dzikrullah?! Dalam artian, kalau kita mau berusaha untuk selalu mengingat Allah maka otak kita tak akan mengalami drop out sebelum waktunya, jadi kita tidak akan sering dan cepat lupa.

Bahkan banyak sekali orang-orang berdzikir hanya ketika sedang terkena musibah saja, setelah itu dia lupa begitu saja dengan pertolongan Allah SWT bahkan lupa akan bersyukur, seperti kacang lupa kulitnya saja. Na'udzu billah… Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersyukur, amiin.

Masih banyak sekali fadhilah yang bisa kita dapatkan dalam dzikrullah, karena memang di setiap apa yang Allah Swt perintahkan kepada hamba-hamba-Nya pasti ada hikmah di balik semua itu, hanya manusianya lah yang terlalu lemah untuk bisa membaca hikmah-hikmah tersebut.

Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat.

Khamis, 15 Mac 2018

Beriman kepada Qada dan Qadar Allah

Beriman kepada Qada dan Qadar Allah

Alhamdulillah... Result SPM dah keluar... Ada yg bergembira dan ada yang berduka...

Tahniah kepada yg cemerlang... Bersyukurlah dgn kurniaan Allah...
Dan kepada yg gagal jgn bersedih dan kecewa.

Kepada ibubapa yg anaknya tak mendapat result seperti yg diharapkan.. Janganlah dimarah Anak itu. Berilah Semangat kepadanya.

Xda anak yg nk gagal... Semuanya nk lulus dengan cemerlang. Terimalah ketentuan Allah dgn sabar dgn redho.

Isnin, 12 Mac 2018

Penyesalan

Mencari jalan pulang

Membuka yang tertutup

Ombak dan laut

Pertemuan dua lautan

Jalan menuju Allah

Diam

Wahai orang yang beriman

Sabtu, 10 Mac 2018

Peperangan Yarmouk

Peperangan Yarmouk adalah pertempuran yang berlaku antara tentera Islam dan tentera Rom Byzantine di Jordan.

Ketika itu, 41’000 tentera Islam yang dipimpin oleh Khalid al Walid, berjaya menewaskan 70’000 battalion Rom yang terkenal dengan kelengkapan artileri.

Kekalahan tentera Rom di Yarmouk menjadikan peluang penguasaan umat Islam terhadap Baitul Maqdis terbuka luas. Rom ingin menamatkan penguasaan mereka di Timur Tengah dengan menyerahkan Kota al Quds.

Bagaimanapun, Patriarch Sophronius seorang protagonis uskup yang mempertahan Jerusalem, enggan menyerahkan Baitul Maqdis kepada umat Islam dengan pertumpahan darah.

Sophronius memberikan syarat supaya Khalifah Islam iaitu Umar ibn al Khattab sendiri yang hadir menemui penduduk Iliya’ (Iliya’, nama Jerusalem ketika itu) dengan jaminan keselamatan.

Pada sangkaan Sophronius, umat Islam akan menolak syarat tersebut dan melakukan penjarahan terhadap Kota al Quds sebagaimana empayar-empayar yang pernah wujud sebelum Islam seperti Parsi dan Rom. Ternyata jangkaan mereka silap.

Abu Ubaidah bin Jarrah yang ketika itu sudah mengepung Jerusalem, dengan sikap toleransi memenuhi permintaan Sophronius dan rakyat Iliya’. Beliau menerima syarat tersebut dan menjemput Khalifah Umar al Khattab menuju ke Kota Jerusalem.

Sebelum Khalifah Umar berangkat menuju ke Jerusalem, Umar telah bermusyawarah bersama para Sahabatnya tentang permintaan Sophronius.

Uthman ibn Affan radhiAllahu anhu mencegah Khalifah Umar dari menuruti kehendak uskup tersebut, tetapi Saidina Ali memberikan cadangan lain yang kemudiannya diterima oleh Umar; Iaitu melakukan rapat umum bersama rakyat Iliya’ kerana Jerusalem juga merupakan salah satu bandar suci bagi kepercayaan umat Islam selain Yahudi dan Nasrani.

Di sinilah hikayat kisah agung pembukaan Kota al Quds yang dilakukan Khalifah Umar al Khattab. Khalifah Islam ke-2 yang pernah mendapat gelaran al Faruq ini, dipuji Baginda salallahualaihi wasalam sebagaimana sabdanya yang bermaksud, "Sesungguhnya Allah Taala menempatkan kebenaran pada ucapan Umar dan hatinya".

Khalifah Umar al Khattab tidak pergi ke Baitul Maqdis dengan ketumbukan tentera, bukan juga dengan pakaian yang mewah-mewah dan kehebatan kerajaannya.

Tetapi beliau datang dengan hanya menaiki seekor unta, dan ditemani oleh seorang P.A (personal assistant) / khadamnya sahaja. Perjalanan Umar dan khadamnya dari Madinah ke Kota al Quds, hanya cukup berbekalkan air, roti dan kurma.

Menurut riwayat, Umar dan khadamnya bergilir-gilir menaiki unta. Jika Umar menaiki unta, maka khadamnya pula akan berjalan sambil memandu pedati unta tersebut. Manakala jika khadamnya yang naik unta, Umar pula yang akan berjalan memandu pedati untanya.

Setiap kali giliran dilakukan, mereka akan membaca surah Yassin sehingga tamat. Itulah yang dilakukan oleh Umar dan khadamnya sehingga sampai ke Kota al Quds.

Sebelum sampai ke Kota al Quds, Umar telah melalui khemah tentera-tentera Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah di Jabiya. Abu Ubaidah bin Jarrah merupakan salah seorang Sahabat Nabi yang termasuk dalam senarai 10 orang yang dijanjikan syurga.

Turut bersama Abu Ubaidah ketika itu ialah Khalid bin al Walid.
Apabila tentera-tentera Islam menyedari kedatangan Umar al Khattab, mereka menyambutnya dengan penuh penghormatan.

Ketika itu Umar yang memimpin pedati unta yang dinaiki oleh khadamnya. Berkali-kali khadamnya meminta agar Umar berada di atas unta sebelum sampai ke perkhemahan tentera, tetapi hal itu ditolak oleh Umar kerana kerendahan hati dan ketinggian budinya.

Apabila Abu Ubaidah melihat kaki Khalifah Umar sudah berceloreng dengan debu-debu tanah dan luka kerana perjalanan yang jauh, Abu Ubaidah dengan niat yang baik memberi cadangan kepada Umar untuk mengapitnya sehingga ke pintu Kota al Quds.

“Wahai Amiral Mukminin, jika kamu memerintah agar kami memapah dan memandu perjalananmu nescaya kami akan lakukan. Mereka (penduduk al Quds) tentu melihat kemegahan kamu sebagai Khalifah”

Tiba-tiba Umar al Khattab merenung Abu Ubaidah, salah seorang panglima Islam yang menewaskan tentera-tentera Rom Byzantine itu dengan wajah yang sangat murka atas apa yang diucapnya.

Lalu terbitlah kata-kata Umar yang mahsyur kepada Abu Ubaidah, "Demi Allah. Jika bukan engkau yang mengucapkannya wahai Abu Ubaidah nescaya aku menghukummu sebagai pengajaran buat umat ini! Sesungguhnya kita semua ini adalah hina lalu kita dimuliakan Allah dengan Islam, sekiranya kita mencari kemuliaan selain Islam sudah tentu kita akan dihina oleh Allah".

Saidina Umar menolak cadangan Abu Ubaidah dan tidak memanjangkan dialog bersamanya. Umar bersama khadamnya terus berlalu pergi meninggalkan perkhemahan tentera Islam di Jabiya.

Mereka masih bergilir-gilir menaiki unta sambil menghabiskan bacaan surah Yassin. Apabila Kota al Quds semakin dekat, khadamnya memesan agar Umar terus kekal menaiki unta, sementara dia yang akan memegang pedati unta yang dinaiki Umar.

Tetapi Umar tegas melarang dan mengarahkan pembantunya agar terus mengikut tempoh gantian yang ditetapkan. Kebetulan, apabila jarak mereka berdua hampir tiba ke gerbang Kota al Quds, waktu itu giliran Umar memegang tali pedati unta tersebut.

Kerumunan tentera-tentera Rom dan rakyat al Quds beragama Nasrani memenuhi Jerusalem. Mata mereka tertumpu kepada seorang pemimpin yang tidak pernah mereka lihat sepanjang sejarah peradaban dunia.

Lazimnya penguasa-penguasa Rom akan membawa bala tentera dan sejumlah kebanggaan di raja seperti emas, mahkota, permaisuri, gundik-gundik dan sebagainya. Tetapi Umar sebagai khalifah, pemimpin terunggul yang berjaya menundukkan keangkuhan Rom, datang dengan baju kasar yang kurang kualitinya, lusuh dan berdebu, manakala kedua-dua kakinya berlumpur.

Umar berhenti apabila menjejaki gerbang Dimashq, salah satu pintu masuk ke Jerusalem. Kemudian terus berjalan meninggalkan unta dan khadamnya di situ, dengan penuh kehambaan kepada Allah Taala wajahnya bersemarak sinar keizzahan Islam.

Pembesar-pembesar Kristian terpegun melihat ketibaan Umar. Mereka semua mengandaikan Umar akan tiba dengan satu rombongan yang besar, sehebat reputasi dan namanya.
Mereka terpedaya dengan sangkaan-sangkaan buruk mengenai Umar, sebaliknya Khalifah Umar hanya ditemani oleh seorang khadam setibanya di Jerusalem.

Lebih mengharukan, mereka melihat Khalifah Umar yang menarik tali pedati yang ditunggang khadamnya. Mereka merasakan perbezaan yang jelas antara peribadi Khalifah Umar dengan semua Raja Kaisar yang pernah menakluk Jerusalem sebelum ini.

Seluruh rakyat Iliya’ dan pembesar-pembesar di Jerusalem memberikan penghormatan kepada Umar sambil menundukkan kepala. Kemudian Umar berteriak keras.

"Alangkah malangnya kamu semua! Angkat kepala kalian sesungguhnya kamu tidak perlu menundukkan kepala (sujud) seperti ini kecuali kepada Allah".

Patriarch Sophronius bersama uskup-uskup lain memakai pakaian yang mewah-mewah bergemerlapan, sedangkan orang yang ingin diberikan penghormatan hanya memakai pakaian seperti rakyat biasa.

Sophronius malu melihat penampilah Khalifah sungguh sederhana, dalam hatinya berkata, "Jika beginilah pemimpin Islam, sesungguhnya kerajaan kamu (Umar) tidak akan tewas".

Saat Sophronius teruja dan menitiskan air mata melihat kesederhanaan Umar, dia termanggu apabila teringat tanda-tanda pemilik sebenar Kota al Quds sebagaimana yang disebut di dalam Injil. Sophronius mara bertemu Umar sambil di tangannya memegang kunci Kota al Quds. Kemudian Sophronius berkata kepada Umar.

“Sesungguhnya orang yang akan aku serahkan kunci kota al Quds, seterusnya menguasai Baitul Maqdis memiliki tiga tanda. Petanda-petanda tersebut jelas disebutkan di dalam kitab Injil kami.

“Pertama, orang itu akan berjalan manakala khadamnya menunggang kenderaan miliknya.

Kedua, orang itu datang dalam keadaan kedua-dua kakinya diselaputi debu-debu tanah (lumpur).

Ketiga, orang itu datang dalam keadaan bajunya penuh dengan tampalan.

Setelah Sophronius melihat tanda-tanda tersebut ada pada Khalifah Umar al Khattab, kemudian dia meminta izin kepada Umar untuk mengira berapakah tampalan yang ada pada baju yang dipakainya.

Ada 17 jahitan yang menampal pada baju Umar, dengan perasaan penuh debaran dan ta’ajub Sophronius berkata, "Inilah tanda yang ketiga, ya Tuhan.

Tidak diberikan kunci-kunci Kota al Quds ini kecuali kepada seorang pemimpin yang memiliki tiga tanda keagungan di mana tanda-tanda inilah yang paling unggul dalam lembaran sejarah dan tidak ternilai harganya (seperti yang disebut di dalam Injil),
(1) Khadamnya yang menunggang kenderaan.
(2) Calitan debu-debu tanah. dan
(3) Tampalan pada baju".

Menurut Sophronius, tanda-tanda ini menunjukkan bahawa kerajaan yang diperintah oleh Umar adalah kerajaan yang akan relevan sepanjang zaman.

Kemudian dia menambah lagi, "Aku tidak sedih (memberikan kunci kepada Umar) kerana kalian masuk ke kota ini sebagai orang yang memiliki kriteria tersebut (dalam Injil kami sebagai pembuka Kota Jerusalem), (aku tidak gelisah) kamu menakluki perbendaharaan dunia ini sedang kami dalam kawalan kalian. Kamu tentu menguasai kota ini selamanya dengan aqidah Islam, pentadbiran Islam dan juga akhlak Islam".

Khalifah Umar menerima penyerahan kunci kota suci itu secara rasmi dari Sophronius. Kemudian Umar mengikat jaminan keamanan penganut Kristian yang akan tetap tinggal di Jerusalem (penduduk Iliya’).

"Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha penyayang; inilah apa yang telah diberikan hamba Allah Umar, Amirul Mukminin keamanan kepada penduduk Iliya'.

Dia (Allah) telah memberikan keamanan untuk diri mereka, harta benda mereka, gereja-gereja mereka dan rumah-rumah ibadah mereka samaada yang elok atau rosak dan kepada seluruh penganut bahawa tidak sekali-kali gereja-gereja mereka dihuni (rampas) dan tidak sekali-kali dimusnahkan dan sekali-kali dilakukan kekerasan terhadap mereka samaada pada tubuh badan atau harta benda.

Dan mereka sekali-kali tidak dipaksa untuk meninggalkan agama mereka dan tidak sekali orang Yahudi menghuni bersama mereka di Iliya'".

"Menjadi kewajipan ke atas penduduk Iliya' untuk membayar jizyah sebagaimana ahli agama lain membayarnya.

Menjadi kemestian ke atas mereka untuk mengeluarkan oran Rom dan perompak, maka sesiapa dari kalangan mereka yang keluar maka dia dan hartanya selamat sehinggalah dia sampai ke tempat perlindungannya.

Dan sesiapa dari kalangan mereka mahu kekal maka dia selamat tetapi mestilah dia membayar jizyah sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Iliya'".

"Sesiapa dari kalangan penduduk Iliya' yang mahu pergi dengan hartanya bersama-sama orang Rom maka mereka selamat sehinggalah mereka sampai ke tempat perlindungan. Sesiapa dari kalangan penduduk bumi ini yang mahu kekal maka hendaklah dia membayar jizyah sebagaimana penduduk Iliya' dan sesiapa yang mahu berada di bawah Rom dan sesiapa yang mahu kembali kepada keluarganya tidak diambil daripada mereka sesuatu pun sehinggalah mereka menuai tanaman mereka.

Sesungguhnya apa yang ada di atas tulisan ini adalah janji yang bertunjang kepada Allah, Rasul dan para Khulafa' dan orang-orang Mukmin jika mereka membayar jizyah yang diwajibkan ke atas mereka".

Inilah sebahagian dari jaminan hak dan keselamatan umat Islam kepada rakyat Iliya’. Rakyat Iliya’ diwajibkan membayar jizyah, manakala yang telah memeluk Islam wajib membayar zakat.

Kota al Quds kemudiannya menjadi tanggungjawab umat Islam dan rakyat Iliya’ untuk memeliharanya daripada ancaman dan pencerobohan musuh.

Perjanjian antara penganut Kristian dan masyarakat Islam ini dinamakan sebagai ‘Wathiqah Umariyyah’ (The Umariyyah Covenant).

Setelah selesai upacara menandatangani perjanjian perdamaian, Khalifah Umar berangkat menuju ke Baitul Maqdis, salah satu tempat yang menjadi wasiat Baginda salallahualaihi wasalam kepada umat Islam agar menziarahinya.

Sehinggalah tiba waktu solat, Sophronius mempelawa Saidina Umar melaksanakannya di Holy Sepulchure / Gereja al Qiamah (tempat maqam suci Jesus yang didakwa oleh penganut Kristian).

Tetapi ajakan itu ditolak kerana Umar khuatir perbuatan tersebut akan menjadi hujjah generasi Islam selepasnya untuk mengubah gereja menjadi masjid.

Saidina Umar kemudian meninjau sekitar kawasan Gereja al Qiamah dan berjalan sepanjang 500 meter menuju ke selatan, lalu beliau melakukan solat di tempat perhentiannya. Kawasan tersebut kini dikenali dengan nama Masjid Umar dan pernah dibakar oleh Yahudi dalam pada 21 Ogos 1969.

Genap 10 hari Saidina Umar bersama tentera-tentera Islam yang kemudiannya masuk ke Kota al Quds dengan aman. Kejayaan tersebut diraikan dengan menunaikan qiyam dan doa kesyukuran kepada Allah Taala. Sewaktu berdoa, Umar tiba-tiba menangis.

Lalu salah seorang bertanya kepada Umar, "Wahai Umar adakah kamu menangis kerana kemenangan ini?"

“Iya, aku menangisi kemenangan ini. Aku teringat Baginda salallahualaihi wasalam pernah bersabda…” - Maksudnya -;

"Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khuatirkan terhadap diri kalian. Tetapi yang aku khuatirkan adalah kesenangan dunia yang dibentangkan pada diri kalian semua sebagaimana yang diperolehi oleh orang-orang sebelum kalian.

Lalu kamu semua saling pintas-memintas untuk mendapatkannya sebagaimana mereka, sehinggalah harta tersebut membinasakan kalian seperti mereka dibinasakan (kerana kelalaian terhadap dunia)".

Setelah itu, Umar kembali bersama khadamnya menuju Madinah. Datang dan perginya Khalifah Umar, hanya berperawakan seperti musafir biasa dan rakyat jelata.

Orang Arif Berhajat Kepada Allah s.w.t

Orang Arif Berhajat Kepada Allah s.w.t

ORANG ARIF TIDAK LUPUT DARI RASA BERHAJAT KEPADA ALLAH S.W.T DAN TIDAK BERASA SENANG UNTUK BERSANDAR KEPADA SESUATU SELAIN ALLAH S.W.T.

Orang arif mempunyai hati yang sangat halus dan adab sopan yang sangat tinggi terhadap Allah s.w.t. Dia mengenali kurniaan dan kekuasaan Allah s.w.t pada nikmat penciptaan dan nikmat kesinambungan kewujudan yang diciptakan Allah s.w.t.

Dia mengenali bahawa tiada satu detik pun makhluk terlepas dari pergantungan kepada Allah s.w.t. Tidak ada satu makhluk yang tidak diheret oleh ketentuan Allah s.w.t, sebagaimana firman-Nya:

Allah Yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat ( Ayat 2 : Surah al-Ikhlas )

Engkaulah sahaja (Ya Allah) yang kami sembah, dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. ( Ayat 4 : Surah al-Faatihah )

Allah s.w.t sahaja yang memiliki sifat-sifat ketuhanan yang menyebabkan sekalian makhluk berhajat kepada-Nya tanpa ada pilihan lain, dan kepada-Nya juga ditujukan semua ibadat. Apabila Dia menciptakan makhluk ditegakkan hukum ubudiyah kepada mereka. Dia berfirman:

Kemudian Ia menujukan kehendak-Nya ke arah (bahan-bahan) langit sedang langit itu masih berupa asap; lalu Ia berfirman kepadanya dan kepada bumi: “Turutlah kamu berdua akan perintah-Ku, samada dengan sukarela atau dengan paksa!” Keduanya menjawab: “Kami berdua sedia menurut – patuh dengan sukarela”. ( Ayat  11 : Surah Fussilat )

Langit dan bumi diciptakan oleh Allah s.w.t. Mereka dapat mendengar wahyu Allah s.w.t, dapat menjawab dan berbuat taat kepada-Nya. Begitu juga hati para arifbillah.

Mereka sentiasa mendengar ucapan Allah s.w.t, membalas ucapan-Nya dan taat kepada-Nya. Allah s.w.t berucap tanpa bahasa dan hati mendengar tanpa telinga dan menjawab tanpa lisan. Begitulah hubungan hati para arifbillah.

Mereka tidak lekang dari sifat keaslian mereka iaitu berhajat kepada Allah s.w.t, memohon petunjuk dari-Nya dan mentaati-Nya sepenuhnya. Tidak ada lagi hajat keperluan mereka kepada makhluk.

Al-Quran menceritakan sifat para hamba yang mengenal Allah s.w.t. Mereka sentiasa menyatakan hajat dan pergantungan kepada-Nya. Mereka memohon pertolongan dan perlindungan-Nya daripada musuh-musuh mereka.

Yusuf menjawab: “Aku berlindung kepada Allah (dari perbuatan yang keji itu); sesungguhnya Tuhanku telah memeliharaku dengan sebaik-baiknya; sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan berjaya”.
( Ayat 23 : Surah Yusuf )

Dan (setelah mendengar ancaman itu) Nabi Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kamu -  dari (angkara) tiap-tiap orang yang sombong takbur, yang tidak beriman kepada hari hitungan amal!”
( Ayat 27 : Surah Mu’min )

Allah s.w.t mengajarkan agar manusia mohon berlindung kepada-Nya daripada musuh-musuh mereka terutamanya syaitan yang sentiasa mengintai peluang untuk mengheret manusia kepada kesesatan.

Dan katakan: “Wahai Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari hasutan syaitan-syaitan. Dan aku berlindung kepada-Mu, wahai Tuhanku, supaya syaitan-syaitan itu tidak menghampiriku”.
( Ayat 97 & 98 : Surah al-Mu’minuun )

Khamis, 8 Mac 2018

Hakikat Tiupan Ruh

Hakikat Tiupan Ruh
Dari Sudut Pandang Tasawuf

Allah berfirman dalam Surat Shaad ayat 72

فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ ٧٢

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku
(QS. Shaad, 38 :72)

Menurut Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, penggunaan kata “meniupkan” mencerminkan bahwa perbuatan itu adalah kerja Allah secara langsung tanpa melibatkan makhluknya.

Hal itu berbeda ketika menggunakan kata “menciptakan atau menjadikan”, misalnya menciptakan manusia dari saripati tanah karena melibatkan peran banyak pihak, termasuk keterlibatan ibu dan bapak. Namun, penggunaan kata nafakha (meniupkan) menunjukkan adanya proses langsung tanpa perantara.

Apakah Allah memiliki ruh? Sehingga dapat ditiupkan ke dalam diri manusia? Kalau Allah memiliki ruh, apa bedanya dengan makhluk?

Menurut Tuangku, yang dimaksud dengan Ruh-Ku adalah sifat Allah yang termasuk sifat ma’ani, yaitu :

Qudrah (kekuasaan),
Iradah (kehendak),
Ilmu (pengetahuan),
Hayat (kehidupan),
Sama’ (pendengaran),
Bashar (penglihatan),
Kalam (pembicaraan).

Dengan tiupan sifat qudrah Allah, sehingga manusia memiliki kekuasaan atau kekuatan;

Dengan tiupan sifat iradah Allah, sehingga manusia memiliki kehendak atau keinginan;

Dengan tiupan sifat ilmu Allah, sehingga manusia memiliki pengetahuan;

Dengan tiupan sifat hayat Allah, sehingga manusia memiliki kehidupan;

Dengan tiupan sifat sama’ Allah, sehingga manusia memiliki pendengaran;

Dengan tiupan sifat bashar Allah, sehingga manusia memiliki penglihatan; dan

Dengan tiupan sifat kalam Allah, sehingga manusia memiliki perkataan.

Perhatikan firman Allah Swt berikut:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh sifat-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. Sajadah, 32:9).

Tiupan tersebut tidak pernah putus hingga ruh tersebut dicabut kembali dari jasad manusia atau di saat mati.

Itulah makna dari salah satu firman Allah yang menjelaskan bahwa “Allah itu lebih dekat daripada urat nadi manusia.”

Betapa tidak lebih dekat, sementara tiupan sifat hayat Allah yang menjadikan manusia itu hidup. Dan ingat, sifat dengan zat tidak pernah berpisah.

Walaupun hidup/hayat itu adalah sifat tetapi hayat itu melekat dan tidak terpisah dengan zat Allah. Artinya, ruh manusia tidak pernah berpisah dengan Allah.

Sekali lagi, Allah meniupkan sifat-Nya ke dalam jasad manusia tidak pernah putus kecuali apabila manusia meninggal dunia. Apabila Allah berhenti meniupkan sifatnya ke dalam tubuh, maka disebutlah tubuh itu sebagai mayat.

Menurut Tuangku, diri manusia ini memiliki tiga unsur, yaitu:

Unsur jasmani
Unsur ruhani
Unsur nurani.

Unsur jasmani meliputi seluruh bagian tubuh fisik manusia, unsur ruhani mencakup hati, akal, dan nafsu; dan unsur nurani mencakup sirr yang ada di dalam hati. Masing-masing unsur tersebut memiliki rasa.

Jasmani memiliki rasa jasmani yang dapat merasakan sesuatu yang bersifat fisikal, seperti manis-pahit, panas-dingin, lembut-kasar, dll.

Ruhani juga memiliki rasa, yaitu rasa ruhani yang bisa merasakan senang-sedih, cinta-benci, damai-marah, dll.

Nurani pula dengan ia memiliki rasa yang dapat merasakan sesuatu yang salah atau benar dan merasakan Allah.

Baca " RASA " Satelit Penangkap Sinyal Keberadaan Tuhan

Segala sesuatu yang dikenali melalui rasa mustahil bagi akal untuk menjelaskan hakikatnya. Hakikat dari manis saja tidak akan mampu menjelaskannya.

Walaupun dibuat banyak buku untuk menjelaskan apa itu manis namun tetap saja tidak mungkin mengenali manis itu, tanpa mencicipinya.

Semua orang yang pernah mencicipi rasa manis tentu mengakui hakikat manis itu sebagai sesuatu yang ada dan nyata, tetapi tidak sanggup mengungkapnya dalam kata atau kalimat. Ini baru rasa jasmani!

Begitu pula dengan rasa cinta. Semua orang yang pernah merasakan cinta, sangat paham tentang hakikat cinta walaupun ianya tidak sanggup menjelaskan hakikat cinta dalam rangkaian kata atau kalimat.  Cinta itu ada dan nyata dan akal tidak akan sanggup menjelaskannya.

Apalagi rasa nurani, ia dapat merasakan suatu kebenaran sejati, bahkan dapat merasakan keberadaan dan kenyataan Allah.

Semua kita punya nurani dan pernah merasakan apa yang dinamakan dengan kebenaran yang datang dari nurani, suatu kebenaran yang tak terpengaruh oleh akal dan nafsu manusia.

Kita sering kali merasakan kedekatan dengan Allah, dan rasa kedekatan itu mustahil bagi akal untuk mengungkapnya dalam bentuk kata atau kalimat.

Atau dengan kata lain, nuranilah yang memiliki potensi untuk menyakini keberadaan Allah dan menyakini akan kenyataan-Nya, bukan akal.

Akal hanya akan mengiyakan apa yang dirasakan oleh nurani, seperti halnya akal hanya akan membenarkan apa yang dirasakan oleh jasmani dan ruhani kita, tetapi tidak akan mampu untuk memikirkan apalagi menjelaskannya.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya hakikat diri manusia itu adalah sama dengan angka NOL. Angka nol itu tidak memiliki nilai walaupun dia ada.

Manusia itu tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada di dalam dirinya adalah ciptaan dan tiupan dari Allah. Keberadaan manusia adalah nol yang dapat merasakan keesaan Allah.

Wahai hamba-Ku!

Sesungguhnya jika engkau ingin merasakan Aku ada, maka tiadakan pengakuanmu terhadap dirimu, kemudian rasakanlah (kesyukuran) atas kepunyaan-Ku yang ada padamu, niscaya engkau tidak menemukan hakmu di dalam pengakuan atas kepemilikan daripada kata ‘Aku.’

(Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Inilah Aku, hlm. 108)

Materi “Dialog tentang Tuhan” di Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia, tanggal 16 Desember 2011 atas kerjasama MMBI dan TICI.

( DR. Zubair Ahmad - majelisrabbani.org )

Rabu, 7 Mac 2018

Janganlah engkau condong kepada dunia.

“Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap),
dan jangan pula pernah terdetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya.

Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut untuk kembali kepada keluarganya.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah

Selasa, 6 Mac 2018

Rukun Agama Ada Tiga iaitu Iman, Islam, Ihsan

Rukun Agama Ada Tiga iaitu Iman, Islam, Ihsan

Di zaman fitnah ini ada sebagian golongan Umat Islam yang menganggap sesat Ilmu tasawuf tanpa kecuali. Para ulama perintis ilmu tasawuf dikafirkan, mereka menjuluki tokoh-tokoh ulama Tasawuf sebagai  dedengkot kesyirikan sekaligus kemusyrikan. Na’dzu billah min dzaalik!

Bismillahirrahmanirrahiim…

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam semesta. Kemudian shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepadanya, keluarga dan para sahabatnya, seluruh Nabi dan Rasul, serta keluarga, sahabat dan pengikut-pengikut mereka hingga hari kiamat.

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi baik, maka Allah akan menjadikannya orang yang memahami agama.”

Kami awali uraian Ini dengan menjelaskan sebuah hadits Jibril AS berikut:

“Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khatthab RA, beliau berkata, ‘Pada suatu hari, di saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yangsangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, dan tidak terlihat bekas-bekas bahwa dia datang dari jauh, dan tidak ada seorang pun diantara kami yang mengenalinya, sampai dia duduk di depan Nabi SAW, dan menempelkan kedua lututnya dengan kedua lutut Nabi, seraya meletakkan kedua telapak tangannya di kedua paha beliau.

Kemudian dia berkata, ‘Ya Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam?’

Rasulullah SAW menjawab, ‘Islam ialah hendaknya angkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan haji jika engkau mampu.’

LAki-laki itu berkata, ‘Engkau benar’. Maka kami pun merasa heran terhadap laki-laki itu, dia bertanya tapi dia juga membetulkan (jawabannya). Selanjutnya dia berkata, ‘Terang pula kepadaku tentang Iman?’

Rasulullah SAW menjawab, ‘Iman ialah hendaknya engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan buruknya.’

‘Engkau benar’, kata laki-laki itu. Seterusnya dia berkata, ‘Jelaskan kepadaku tentang Ihsan?’

NAbi SAW menjawab, ‘Ihsan ialah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’

Laki-laki itu berkata, ‘Jelaskan pula kepadaku tentang hari kiamat?.’

Nabi SAW menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.’

Laki-laki itu berkata lagi, ‘Katakan kepadaku tentang tanda-tandanya (kiamat)?’

Nabi SAW menjawab, ‘(Tanda-tandanya ialah) jika seorang budak perempuan telah melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin papa, dan penggembala kambing, berlomba-lomba membangun rumah-rumah yang tinggi.’

Kemudian laki-laki itu meninggalkan kami dan hilang begitu saja. Lalu Nabi SAW berkata, ‘Wahai Umar, tahukah engkau siapakah laki-laki yang bertanya tadi?’

‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu,’ jawabku.

Nabi SAW berkata, ‘Dia adalah Jibril yang datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan kepadamu tentang agamamu.’ “ (HR. Muslim)

Hendaknya diketahui bahwa hadits Shahih tersebut, selain memuat 3 Rukun Agama, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, juga sekaligus memuat jenis-jenis ilmu ketiga rukun agama tadi.

Nah, ilmu-ilmu berupa praktek berkaitan dengan Islam, Iman dan Ihsan sudah ada sejak zaman Nabi dan zaman Sahabat Nabi Saw, tetapi ilmu-ilmu berupa susunan ilmu yang tersususn sitematis dalam catatan kitab mulai dirintis oleh para Ulama sejak zaman Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dan para ulama setelahnya.

Di awal perkembangan ilmu-ilmu agama, para Ulama Salaf sudah menyusun ilmu Fiqih, Ilmu Tauhid dan Ilmu Tasawuf.

Tentang Islam dipelajari dengan Ilmu Fiqih, yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang diwajibkan dan yang dilarang oleh Allah untuk dilaksanakan para mukallaf (kaum muslimin dan muslimat).
Tentang Iman dipelajari dengan Ilmu Tauhid, yaitu hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf (orang yang telah dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terdiri dari ketuhanan, kenabian, dan hal-hal yang sam’iyyat (masalah-masalah ghaib). Dengan ilmu Tauhid ini seorang hamba akan mengenal Allah sehingga tidak salah menyembah dan mengabdi kepada-NYA.
Tentang Ihsan dipelajari dengan Ilmu Tasawuf, yaitu ilmu akhlak batin sehingga bisa  menghadap Allah secara khusu’. Ilmu Tasawuf merupakan hal-hal yang menyelamatkan, wajib dijadikan hiasan oleh seorang hamba, dan berupa hal-hal yang merusakkan hati dan jiwa yang mesti ditinggalkan.
Ketiga ilmu ini wajib dituntut untuk dimiliki dan kemudian dipraktekkan oleh setiap mukallaf, tanpa ada keringanan untuk meninggalkannya. Rasulullah SAW bersabda, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat.”

Tetapi, di zaman fitnah ini ada sebagian golongan Umat Islam yang menganggap sesat Ilmu tasawuf tanpa kecuali. Para ulama perintis ilmu tasawuf dikafirkan, mereka menjuluki tokoh-tokoh ulama Tasawuf sebagai  dedengkot kesyirikan sekaligus kemusyrikan. Na’dzu billah min dzaalik!

Kami ingatkan, sebaiknya jika anda mendengar ada para ustadz yang dalam pembicaraan mereka dan ajaran mereka mempersesatkan ilmu tasawuf, sudah cukup alasan bagi anda untuk meninggalkan mereka. Karena bukan ilmu tasawuf yang sesat tetapi mereka lah yang sesat.

Wallohu a’lam.

DALIL RUKUN AGAMA

DALIL RUKUN AGAMA

Para Ulama merumuskan bahwa rukun agama ada tiga, yaitu :
Iman
Islam
Ihsan

Rumusan tersebut didasarkan kepada hadits sohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut :

Sahabat 'Umar bin Khottob r.a. meriwayatkan bahwa suatu hari para sohabat sedang duduk bersama-sama Rosululloh s.a.w. mendadak muncullah seorang lelaki yang amat putih bajunya dan amat hitam rambutnya. Lelaki itu tidak diketahui dari mana asal. Tidak ada pula di antara para sohabat yang ada saat itu yang mengenal siapa dia. Lelaki itu duduk dan menempelkan lututnya ke lutut Rosululloh s.a.w.

Lelaki itu bertanya, "Wahai Muhammad, sampaikanlah kepadaku tentang ISLAM ?"

Rosululloh s.a.w. menjawab, "Islam adalah engkau bersyahadat bahwa sungguh tiada Tuhan selain Allah dan sungguh Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan solat, engkau membayar zakat, engkau berpuasa di bulan romadon dan engkau melaksanakan hajji ke baitulloh bila engkau mampu melakukan perjalanan ke sana.

Lelaki itu berkomentar, "Engkau benar"

Sahabat 'Umar bin Khottob r.a. menyampaikan bahwa kami (para sahabat) kaget - terheran-heran - lelaki itu bertanya dan ia pula yang membenarkannya.

Lelaki itu bertanya, "Lalu sampaikan kepadaku tentang IMAN ?"

Rosululloh s.a.w. menjawab, "hendaklah engkau beriman kepada Allah, kepada seluruh malaikat Allah, kepada seluruh kitab Allah, kepada seluruh rosul Allah, kepada hari akhir dan engkau beriman kepada qodar baik dan buruk.

Lelaki itu berkomentar, "Engkau benar" Ia lalu kembali bertanya, "Sampaikanlah kepadaku tentang IHSAN ?"

Rosululloh s.a.w. menjawab, "hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya lalu jika engkau tidak melihat-Nya yakinlah bahwa sungguh Dia melihatmu"

Lelaki itu bertanya kembali, "Sampaikan kepadaku tentang hari kiamat ?"

Rosululloh s.a.w. menjawab, "Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya"

Lelaki itu bertanya, "Sampaikan kepadaku tentang ciri-cirinya (kiamat) ?"

Rosululloh menjawab, "Hamba sahaya melahirkan majikanny dan engkau melihat orang yang telanjang kaki, telanjang badan, fakir lagi menggembala kambing saling meninggikan bangunan"

Kemudian lelaki itu pergi lalu suasana diam lama, sampai Rosululloh s.a.w. bertanya, "Wahai 'Umar, tahukah engkau siapa penanya tadi ?"

Aku ('Umar r.a.) menjawab, "Allah dan RasulNya yang lebih tahu"

Rasulullah s.a.w. bersabda, "Sesungguh dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian"

Tanazul Dan Taraqi

Jalan Pulang Menuju Allah

Tanazul Dan Taraqi

Dalam pembahasan Martabat Tujuh, Allah bertajalli menjadi tujuh martabat yaitu :

1. Martabat Ahadiyah 
2. Martabat Wahdah 
3. Martabat Wahidiyah 
4. Martabat alam Arwah 
5. Martabat alam Misal 
6. Martabat alam Ajsam
7. Martabat alam Insan Kamil .

Proses Allah bertajalli dari Martabat Ahadiyah sampai menuju Martabat Insan Kamil itu disebut dengan Tanazul, yaitu perjalanan atau pergerakan dari atas ke bawah (al-qaus al-tanzil), ketika Tuhan akan melihat dirinya maka Ia memanifestasikan dirinya ke dalam wujud lain yang kemudian disebut dengan tajalli. 

Sebaliknya proses Taraqi @ naik yaitu :
1. Martabat alam Insan Kamil
2. Martabat alam Ajsam
3. Martabat alam Misal 
4. Martabat alam Arwah
5. Martabat Wahidiyah 
6. Martabat Wahdah 
7. Martabat Ahadiyah .

Maka proses dari Insan kamil menuju Martabat Ahadiyah ini disebut dengan Taraqi, yaitu sebuah perjalanan spiritual insan kamil dari bawah (al-‘alam al-sufla) ke alam atas (al-‘alam al-‘ulya), yaitu ke alam yang lebih dekat dari titik sentral yang biasa disebut dengan Ahadiyah.

Tanazul dan taraqi adalah dua istilah yang sering digunakan di kalangan sufi dalam menggambarkan relasi antara hamba dengan Tuhan. Taraqqi diartikan sebagai perjalanan spiritual seorang hamba dalam upaya mendaki mendekati Tuhannya. 

Jalan Pulang Menuju Allah.
Masalahnya pada tahap martabat Insan Kamil yang mempunyai kedudukan sebagai akhir proses Tajalli Allah dan sebagai dasar naik dalam proses Taraqi menuju Allah hanya terjadi kepada para Nabi, Rasul dan Wali Allah, merekalah Insan kamil sepenuhnya.

Sedangkan manusia lainnya pada umumnya belum mencapai derajat Insan Kamil, justru terjebak dengan hawa nafsu dan terumus dalam dosa dan maksiat.

Perbuatan dosa yang dilakukan manusia ditimbulkan oleh keinginan syahwat dan bisikan  sang nafsu dikarenakan kondisi manusia sangat lemah, karena kecintaanya kepada badan dan dunia.

Untuk bisa kembali “Pulang” kita harus mencapai derajat Insan Kamil, dengan cara membulatkan tekad, berusaha sungguh-sungguh (MUJAHADAH) mengalahkan nafsu musuh besarnya agar dapat menjadi sebagai INSAN KAMIL.

Adapun pendakian tujuh jiwa adalah sebagai berikut:

1.Jiwa Ammarah 
Yaitu jiwa yang selalu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah  dalam Al-qur’an dijelaskan : 

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
[Qs. Yusuf: 53 ] 

Adapun sifat-sifat Nafsu Ammaroh diantaranya:
1. Pelit (البخل ).
2. Dengki (الحسد).
3. Bodoh (الجهل).
4. Sombong (الكبر).
5. Marah ( الغضب ).
6. Sangat cinta dunia (الحرص).
7. Senang melakukan perkara jelek/hina (الشهوة).

Jika jiwa Ammarah  ini kita kalahkan maka semua sifat tujuh di atas akan terkikis dan menjadi hilang dalam diri manusia. Sehingga hati menjadi lunak, hawa nafsu mulai bisa dikalahkan.

2.Jiwa Aluwamah.
Jiwa Aluwamah yaitu jiwa yang mampu memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk, ia menyadari bahwa perbuatan melanggar perintah Allah itu dosa, akan tetapi kadang maksiat, kadang taat, kadang taubat, jiwa yang sering berubah, jiwa yang masih sering terombang-ambingkan antara ketaatan dan kemaksiatan. Allah berfirman:

وَلا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
QS. Al-Qiyamah [75]:2)

Dalam jiwa ini juga terdapat jiwa-jiwa binatang yang sifatnya hanya suka memenuhi hasrat sex dan kesenangan duniawi. 

Adapun sifat-sifat Nafsu Aluwamah itu adalah:
1. Menyesal ( اللوم).
2. Mengikuti kesenangannya (sexual) (الهوي).
3. Menipu (المكر).
4. Menggunjing (الغيبة).
5. Riyak/pamer (الرياء).
6. Dholim/Aniaya (الظلم).
7. Lupa pada Allah (الغفلة).
8. Bohong(الكذب).
9. Ujub(membanggakan amalnya)( العجب).

Jika jiwa Aluwwamah ini kita kalahkan dengan mujahadah (berperang melawan hawa nafsu) maka semua sifat tujuh negatif di atas dan sifat- sifat binatang dn kecenderungan hawa nafsu sexnya (zina)akan terkikis dan menjadi hilang dalam diri manusia. 

3. Jiwa Mulhimah.
Jiwa Mulhimah yaitu jiwa yang diberi ilham atau bimbingan oleh Allah, karena dapat mengalahkan jiwa Ammaroh dan jiwa Aluwamah. Allah berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

Dan (demi) jiwa serta penyempurnannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams [91]:7-8)

Adapun sifat-sifat Nafsu Mulhimah itu banyak sekali, diantaranya :
1. Dermawan (السخاوة),
2. Qona’ah (القناعة).
3. Taubat (التوبة).
4. Tawadhu’ (التواضع).
5. Sabar (الصبر).
6. Mempertahankan (التحمل).
7. Lemah lembut(الحلم).

Jika Jiwa Mulhimah ini dijadikan fokus dzikir dengan sungguh-sungguh maka semua semua sifat-sifat yang terpuji di atas akan semakin mengembang dan sehingga prilakunya semakin berakhlakul karimah jiwanya menjadi matang. 

4. Jiwa Muthmainnah.
Jiwa Muthmainnah adalah jiwa yang sudah bisa mengendalikan semua sifat dan nafsu-nafsu yang jelek, orang yang mempunyai jiwa akan mendapatkan ketenangan dan kebahagian selalu, karena hatinya telah dipenuhi iman dan cahaya dari Allah.  Allah berfirman: 

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

Hai Jiwa Mutmainnah (tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridoi-Nya. (Qs. Al-fajr [89]:27-28)

Jiwa Muthmainnah yang sudah mendapat cahaya dari Allah. Pemilik jiwa ini mulai masuk awal dalam perjalanan menuju Allah, inilah dasar makrifat menuju Allah, kedudukannya adalah awal dari kesempurnaan.

Adapun sifa-sifat Nafsu Mutmainnah itu banyak sekali, diantaranya :
1. Memberi (الجود).
2. Tawakkal (التوكل).
3. Ibadah (العبادة).
4. berSyukur (الشكر).
5 Ridho (. الرضى).
6. Takut kepada Allah (خشية).

Jika istiqomah dalam dzikirnya, maka hati nurani akan terbuka dan aktif, sehingga suara dan bimbingan hati nurani akan membimbing kita dalam segala hal. 

5. Jiwa Rodhiyah.
Jiwa Rodhiyah yaitu jiwa kepasrahan total kepada Allah, jiwa seorang muslim yang hakiki, jiwa yang sudah mantab dan yakin serta benar-benar patuh pada Allah, ini adalah jiwa yang menerima dan ridho terhadap kehendak Allah tunduk kepadanya.  Sebagaimana firman-Nya:

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Allah meridoi mereka dan merekapun ridho kepada-Nya (QS. Al-Maidah [5]:199)

Adapun sifa-sifat Nafsu Rodhiyah itu banyak sekali, diantaranya :
1. Dzikir (الذكر).
2. Ikhlas (الاخلاص).
3. Menepati janji (الوفاء).
4. Waro’/ menjaga dari perkara syubhat (الورع ).
5. Zuhud (الزهد).
6. kemuliaan(الكرامات).
7. Rindu kepada Allah (العشق).

Orang yang mencapai tahapan jiwa ini, maka semua sifat-sifat yang terpuji di atas akan semakin besar dan kuat terhadap jiwa, sehingga orangnya menjadi bijaksana. Salah satu tandanya adalah prilakunya lemah lembut, sikap dan ucapannya sangat bijak.

6. Jiwa Mardhiyah.
Jiwa Mardhiyah yaitu jiwa yang diridhoi, jiwa yang dekat dengan sang pencipta. Inilah tahapan ketika jiwa menerima keridhoan Allah dan hal itu bersifat timbal balik.

Jiwa secara utuh menjadi menyatu dengan kehendak universal Allah. Dengan kehilangan kehendak dirinya sendiri (kehendak manusia) maka jiwa berada dalam kedudukan sifat fana’ fillah, lebur di dalam Allah.

Adapun sifat-sifat Nafsu Mardhiyyah itu banyak sekali, diantaranya :
1. Baik budi pekertinya (حسن الخلق ).
2. Belas kasih kepada semua makhluk (اللطف بالخلق).
3. Meninggalkan semua perkara selain Allah(ترك ما سوى الله ). 
4. Taqorrub, mendekatkan diri kepada Allah(التقرب الى الله ).
5. Berfikir tentang keagungan Allah(التفكر فى عظمة الله).
6. Ridho dengan pembagian dari Allah(الرضى بما قسم الله).

Orang yang sudah mencapai dalam tahapan jiwa Mardhiyah ini maka semua sifat-sifat yang terpuji di atas akan semakin besar dan kuat terhadap jiwa.

Effek lainya adalah kita akan sering melihat dimensi-dimensi ghaib dan kerajaan langit (malakutis samawat). Sesuai dengan tingkat spritua masing-masing.

7. Jiwa Kamilah Jiwa.
Kamilah yaitu jiwa yang telah mencapai pencerahan atau kesempurnaan. Orang yang mencapai derajat ini maka ia akan menjadi jiwa yang tersucikan atau Nafsu Kamilah yaitu jiwa yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya.
(QS. Al-Syams[91]:9)

Jiwa yang sudah sampai pada kesempurnaanya dalam bentuk dan karakteristiknya, ia meningkat dalam kesempurnaanya. Jiwa yang sudah dianggap cakap untuk kembali kepada Tuhannya, pekerjaannya memberi mamfaat kepada orang lain dan menyempurnakan amal shalihnya.

Inilah jiwa Insan Kamil, manusia sempurna kedudukanya adalah pada tingkat Tajalli Asma serta sifat dan kondisinya Baqabillah, pergi kepada Tuhan, kembali dari pada Tuhan kepada Tuhan, tidak ada tempat/media lain selain Tuhan, Tiada memiliki ilmu melainkan Tuhan langsung pengendalinya, ia fana’ pada Tuhan.  

Itulah jalan kembali pulang menuju Allah dengan cara Taraqi (mendaki) tahapan demi tahapan jiwa harus di lalui sehingga mencapai derajat Insan Kamil.
Pertanyaannya apakah anda dalam kehidupan ini bisa mencapai derajat Insan Kamil...?

Jika tidak bisa mencapai derajat Insan Kamil, maka membutuhkan kehidupan lagi, kehidupan lagi, kehidupan lagi, sampai kita semua bisa pulang kembali ke asal kita. Itulah hakekat Innalillahi wa Inna Lillahi Rojiun. 

Muhammad diri yang pertama

Muhammad itu ada dua rupa atau dua makna :

1. Muhammad yang bermakna Qadim Azali = diri Muhammad yang pertama, yang tidak kenal mati selama lamanya.

(Maksudnya :  Muhammad diri yang pertama = yang awal Nafas + yang akhir Salbiah + yang dzahir Ma’ani + yang batin Ma’nawiyah)

2. Muhammad yang bermakna Muhammad Bin Abdullah = Insanul Kamil yang mengenal mati.

(Maksudnya : Muhammad diri yang kedua = yang  bersifat manusia biasa, yang berlaku padanya “Sunnatu Insaniah” yaitu “Kullu nafsin zaikatul maut” namun jasad Nabi kita adalak Qadim Idhofi = tiada rusak, selama-lamanya di kandung bumi)

“Innallaha azza wajalla harrama alal ardhi aiya kulla azsadal ambiya”

“Bahwasanya Allah Ta’ala yang maha tinggi telah mengharamkan akan bumi menghancurkan jasad para nabi nabi”

Petikan dari ~ fb Omar Abdullah

Ahad, 4 Mac 2018

Sholat dalam pandangan Ilmu Hakekat Pandangan Hakekat

Sholat dalam pandangan Ilmu Hakekat
Pandangan Hakekat

Sholat bukan menyembah namun Sholat adalah berdiri menyaksikan diri sendiri yaitu bersaksi diri kita sendiri bahwa Tiada Nyata pada Diri Kita Hanya Allah yaitu Diri Batin ( Muhammad Mustaffa ) dan Diri Dzahir kita itu menanggung Rahasia Allah.

Pengertian SHOLAT HAKIKI ter-urai dalam kalimah ALHAMDU (alif–lam–ha–mim-dal) yang bermaksud SEGALA PUJI MILIK ALLAH.

Inilah perkataan yang mula mula dilafazkan oleh manusia yaitu Nabi Allah Adam a.s “ALIF” Melambangkan NIAT karena niat itu ialah mendzahirkan DIRI BATIN.

Diri inilah IMAM yang kita ikuti yaitu ULIL AMRI atau pemerintah = pemimpin. “LAM” Bila telah nyata Diri Batin, maka kita lafazkan TAKBIR RATUL IHRAM.

Maka berawal dari sini bukanlah manusia yang berkehendak tetapi segala-galanya adalah digerakkan oleh Allah.

“HA” Apabila telah nyata Allah menguasai diri kita, maka kita pun rukuk menandakan kita tunduk patuh akan Kebesaran Allah dan siap menerima segala PerintahNya.

“MIM” Maka diri kita mengakui bahwa Dzat Allah itulah Tuhan Sekalian Alam yang meliputi seluruh diri kita mengwujudkan dan menghidupkan kita. Kita pun sujud menandakan rasa syukur kita.

“DAL” Satelah kita tahu Dzat telah meng-karunia-kan kepada diri kita menjadi KhalifahNya dibumi ini, maka kita pun merendah diri atas Karuniah itu (yang tidak dikaruniahkan Allah kepada makhluk lain selain manusia ) .

RINGKASAN ALHAMDU .
ALIF = Niat
LAM = Berdiri Betul
HA = Ruku’
MIM = Sujud
DAL = Duduk Antara Dua Sujud .

URAIAN TENTANG NIAT
Usalli, Fardhu, Rakaat, Lillah Hi Ta’ala Usul Diri Rangka Nyata Allah

Usalli = Kita berniat untuk mengusul asal diri kita
Fardhu = Fardhu ialah Diri Yang Di-usul Rakaat = Rangka kita ialah Jasad yang di dzahirkan
Lillah Hi Taala = Nyata Allah melalui jasad yang dzahir.

Barulah dapat diusul akan Asal Usul Diri. Maka setelah diusul nyatalah Allah itu Meliputi Diri Dzahir dan Diri Batin. Diri Dzahir tiada mempunyai daya dan upaya melainkan melakukan Af’al Allah semata-mata.

Dengan KESADARAN itu maka Nyatalah Kebesaran Allah dan kita-pun TAKBIR untuk meng-ESA-kan Dzat Tuhan itu meliputi sekalian diri.

URAIAN TAKBIRATUL IHRAM
Allah = Sifat Napsiah = 1
Hu = Sifat Salbiah = 5
Akbar = Sifat Maani = 7 & Maknuyah 7 = 14

Maka nyatalah ke 20 Sifat-sifat Kebesaran Allah didalam ucapan
“ALLAH HU AKBAR”.

CARA- CARA SHOLAT HAKIKI .
HAKEKAT SHOLAT : Artinya berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita. Hanya diri batin (Allah) dan diri dzahir kita (Muhammad) yang membawa dan menanggung rahasia Allah swt.

Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatihah yaitu : Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal) Kalimah Alhamdu ini diterima ketika Rasulullah isra’ dan mi’raj. Mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah swt yaitu Adam as.

Takkala Roh (diri batin) Adam as. sampai ketahap dada, Adam as pun bersin dan berkata Alhamdulillah = Segala puji bagi Allah Apa yang dipuji adalah : Dzat (Allah), Sifat (Muhammad), Asma’(Adam) dan Afa’al (Manusia)

Jadi sholat itu bukan berarti : Menyembah tapi suatu “cara” penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita melainkan diri Allah semata.

Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah swt. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta. Tiada sesuatu yang kita punya kecuali Hak Allah semata.

Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 72

“إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَہَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَـٰنُ   ۖ 

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya”

Dan karena firman Allah inilah kita mengucap : “Asyhaduanlla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah” .

“Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah semata-mata dengan tubuh dzahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai pada masa yang telah ditentukan.”

Manusia akan berguna disisi Allah jika dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri. Bila manusia dapat mengenal dirinya maka dengan sendirinya ia dapat mengenal Allah.

Kisah Dzun Nun Al Masri

Kisah Dzun Nun Al Masri

Pada suatu hari ada seorang putra bersama rombongannya lalu di hadeapan Dzun Nun Al Misri ketika ia berada di depan masjid. "Tak ada seorang pun yang lebih bodoh daripada orang lemah melawan yang kuat," kata Dzun Nun Al Misri.

"Apa maksud kata-kata itu ?" tanya sang pangeran.

"MANUSIA ITU LEMAH tapi dia suka melawan Allah Yang Maha Kuat." jawab Dzun Nun Al Misri.

Seketika pucat wajah putra, ia bangkit lalu pergi. Besoknya dia menemui Dzun Nun Al Misri. "Bagaimana caranya berjalan menuju Allah ?" tanya pangeran.

"Ada jalan kecil dan jalan yang besar." jawan Dzun Nun Al Misri. "Jika engkau menginginkan jalan yang kecil, lepaskanlah dunia dan tinggalkan perbuatan dosa. Dan jika engkau ingin jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu selain Allah, dan kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Dia."

"Kalau begitu aku pilih jalan yang besar saja." jawab sang pangeran.

HR. Ahmad : Wahai anak Adam ! Berdirilah kepada Ku, niscaya Aku berjalan kepadamu. Dan berjalankan kepada Ku dan Aku (Allah) niscaya berlari kepadamu."

Dari buku "DIALOG SUARA HATI" oleh Hamim Thohari

Jumaat, 2 Mac 2018

Tertipu dengan Dunia

Tertipu dengan Dunia,
Lalai dengan Kehidupan Akhirat

Hakikat dunia adalah negeri yang sementara, bukan negeri keabadian. Jika kita memanfaatkan dunia dan menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka kita akan memetik hasilnya di akhirat kelak.

Kehidupan Akherat Manusia Lalai Manusia Lalai Dengan Dunia Memanfaatkan Kehidupan Dunia Lalai Terhadap; Dunia

Hakikat dunia adalah negeri yang sementara, bukan negeri keabadian. Jika kita memanfaatkan dunia dan menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka kita akan memetik hasilnya di akhirat kelak. Adapun jika kita menyibukkannya dengan syahwat, maka kita akan merugi, baik di dunia, apalagi di akhirat.

Hal ini sebagaimana firman Allah Taala,

خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj [22]: 11)

Orang-orang yang menyibukkan dunia dengan sesuatu yang akan bermanfaat untuknya kelak di sisi Allah Ta’ala, mereka adalah orang-orang yang beruntung, baik di dunia dan di akhirat. Dia beruntung di dunia karena menyibukkan diri dalam amal kebaikan. Demikian pula, dia beruntung di akhirat karena telah membekali diri dengan berbagai amal shalih.

Allah Taala berfirman dalam banyak ayat Al-Quran,

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdaya kamu.” (QS. Luqman [31]: 33)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang kita untuk terperdaya dengan kehidupan dunia. Dia tertipu dengan dunia, sehingga sia-sialah waktunya, terluput dari berbagai amal shalih, karena dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Dia habiskan dunia ini, siang dan malam, hanya untuk mengumpulkan harta saja atau hanya untuk berlomba-lomba dalam teknologi. Hal ini sebagaimana kondisi orang-orang kafir saat ini. Mereka habiskan dunia ini untuk sesuatu yang tidak abadi.

Bukan berarti seorang muslim tidak boleh memanfaatkan dunia ini dan kemajuan teknologi di dalamnya. Akan tetapi, hendaknya dia manfaatkan ini semua untuk membantu ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menciptakan dunia ini dan apa yang ada di dalamnya untuk hamba-hambaNya yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf [7]: 32)

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Namun, sekali lagi, bukan berarti kita sibuk dengan kehidupan dunia dan lalai dengan kehidupan akhirat. Bahkan maksudnya, sibukkanlah dunia ini dengan niat untuk menolongmu dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang memanfaatkan dunia ini dan menyibukkannya untuk kebaikan dan maslahat agama dan dunianya, merekalah orang-orang yang beruntung. Akan tetapi, barangsiapa yang sibuk dengan dunia dan menjadikan dunia itu sendiri sebagai tujuan dan hasratnya, mereka ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ

“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 26)

Oleh karena itu, dunia ini dicela bukan semata-mata karena dunia itu sendiri, akan tetapi dicela karena kesalahan kita dalam memanfaatkan dunia. Sebagaimana pisau, bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Namun, bisa juga digunakan untuk hal-hal yang merusak, seperti berbuat kejahatan. Demikianlah perumpamaan dunia, yaitu bagaimana kita memanfaatkannya.

Surga itu dibangun dengan dzikir, tasbih, tahlil, takbir, ditumbuhkan pohon-pohonnya dengan amal ketaatan. Semua ini menunjukkan bahwa dunia ini hanyalah ladang, tempat bercocok tanam untuk kehidupan akhirat. Sebagaimana kata ahli ilmu,

الدنيا مزرعة للاخرة

“Dunia adalah ladang akhirat.”

Hendaknya seorang muslim yang memiliki akal senantiasa berpikir, jangan seperti binatang ternak yang tidak memahami apa yang dia inginkan. Bahkan, kondisi binatang ternak itu lebih baik dibandingkan manusia. Karena binatang ternak tidaklah membahayakan kita, kecuali jika kita menyakiti dan mengganggunya. Binatang ternak juga tidak memiliki surga atau neraka, dan mereka diciptakan di dunia ini untuk berbagai maslahat di dunia. Manusia bisa menungganginya, memanfaatkannya untuk membawa barang-barang, atau dimanfaatkan daging dan susunya. Mereka tidak dibebani dengan berbagai kewajiban syariat.

Hendaklah manusia, yang memanfaatkan berbagai fasilitas dan perhiasan dunia ini, memperbaiki amalnya. Sehingga bermanfaat untuk dirinya, baik untuk kehidupan saat ini, atau kehidupan di masa mendatang.

LIHATLAH KEHEBATAN IMAN SEEKOR SEMUT

LIHATLAH KEHEBATAN IMAN SEEKOR SEMUT

Di zaman Nabi Sulaiman A.S, berlaku satu peristiwa, apabila Nabi Sulaiman ternampak seekor semut melata di atas batu, lantas Nabi Sulaiman merasa hairan bagaimana semut ini hendak hidup di atas batu yang kering di tengah-tengah padang pasir yang tandus.

Nabi Sulaiman a.s pun bertanya kepada semut, "Wahai semut , apakah engkau yakin ada makanan cukup untuk kamu".

Semut pun menjawab: "Rezeki datang dari ALLAH, aku percaya rezeki datang dari ALLAH, aku yakin di atas batu kering di pasir yang tandus ini ada rezeki untuk ku"...

Lantas Nabi Sulaiman a.s pun bertanya, "Wahai semut, berapa banyakkah engkau makan?. Apakah yang engkau gemar makan dan banyak mana engkau makan dalam sebulan?"

Jawab semut, "Aku makan hanya sekadar sebiji gandum sebulan"...

Nabi Sulaiman a.s pun mencadangkan: "Kalau kamu makan hanya sebiji gandum sebulan tak payah kamu melata di atas batu, aku boleh tolong".

Nabi Sulaiman a.s pun mengambil satu bekas, dia angkat semut itu dan dimasukkan ke dalam bekas, kemudian Nabi ambil gandum sebiji, dibubuh dalam bekas dan tutup bekas itu. Kemudian Nabi tinggal semut didalam bekas dengan sebiji gandum selama satu bulan.

Bila cukup satu bulan Nabi Sulaiman lihat gandum sebiji tadi hanya dimakan setengah sahaja oleh semut, lantas Nabi Sulaiman menemplak semut, "Kamu rupanya berbohong pada aku!. Bulan lalu kamu kata kamu makan sebiji gandum sebulan, ini sudah sebulan tapi kamu makan setengah"...

Jawab semut, "Aku tidak berbohong, aku tidak berbohong!. Kalau aku ada di atas batu aku pasti makan apapun sehingga banyaknya sama seperti sebiji gandum sebulan, kerana makanan itu aku cari sendiri dan rezeki itu datangnya daripada Allah dan Allah tidak pernah lupa padaku.

Tetapi bila kamu masukkan aku dalam bekas yang tertutup, rezeki aku bergantung pada kamu dan aku tak percaya kepada kamu, sebab itulah aku makan setengah sahaja supaya tahan dua bulan. Aku takut kamu lupa"...

Itulah Iman Sang Semut... Iman kita bagaimana pula?... apakah sehebat iman Sang Semut?... Ayuh kita renungkan....

Hadits-hadits tentang ilmu mauhub/laduni

Hadits-hadits tentang ilmu mauhub/laduni

1.        Hadits Bukhari -Muslim :

“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)

2.        Hadits At Tirmidzi :

“Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi).

3.        Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib Ra:

“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.

4.        Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam kitab Al-Hilyah :

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam alhilyah).

5.        Hadits riwayat Imam Ahmad Dalam kitab  al-hikam

Nabi SAW bersabda :” Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui”.

Imam Ahmad bin Hanbal ra. Bertemu dengan Ahmad bin Abi Hawari, maka Ahmad bin Hanbal ra. “Ceritakanlah kepada kami apa-apa yang pernah kau dapati dari gurumu Abu Sulaiman ra. “. Jawab Ibnu Hawari : “Bacalah subhanallah tanpa kekaguman”.Setelah dibaca oleh Ahmad bin Hanbal ra. : “Subhanallah” Maka berkata Abil Hawari ra. : “Aku telah mendengar bahwa Abu Sulaiman berkata : “ Apabila jiwa manusia benar-benar berjanji akan meninggalkan semua dosa, nescaya akan terbang kea lam malakut (di langit), kemudian kembali membawa berbagai ilmu hikmah tanpa berhajat pada guru”. Imam Ahmad Bin Hanbal ra. Setelah mendengar keterangan itu langsung ia bangkit bangun/berdiri dan duduk ditempatnya berulang tiga kali, lalu berkata : “Belum pernah aku mendengar keterangan serupa ini sejak aku masuk islam”. Ia sungguh puas dan sangat gembira menerima keterangan itu, kemudian ia membaca hadits tadi.

Dalil-dalil ayat Al-ur’an tentang ilmu laduni/mauhub

Dalil-dalil ayat Al-qur’an tentang ilmu laduni/mauhub

1.       “Dan Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian“
(Qs. Al baqarah ayat 282)

2.        “Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami (berjihad dan mendakwahkan agama) maka akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami (jalan-jalan petunjuk). Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang ihsan (muhsinin)
(QS Al’ankabut ayat 69).

3.         “Katakanlah  (hai Muhammad Saw.)  Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS Thaha [10] ayat 113).

4.       “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. “
(QS. Al-qashash [28], ayat 7).

5.        “Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”.
(Al Kahfi: 65).

Khamis, 1 Mac 2018

Jika Kau Rasa Getarnya

Jika Kau Rasa Getarnya

Janganlah hanya mengukir janji
Sedangkan dikau masih mencari
Adakah benar kata kata
Bukan ungkapan sementara

Kaulah pancaran yang daku rasa
Bagaikan obor yang menyinar
Jika terpadam tiba tiba
Sunyilah insan alam gelita

Jika kau selam hati ini
Pastinya engkau kan mengerti
Betapa sucinya cintaku
Jangan diragu

Jika kau rasa getarnya
Debaran kasih cinta yang meronta
Nilai kasihku padamu cukup berharga

Bukan simpati yang aku pinta
Kebenaranmu memutus kata
Agar dapatku abadikan
Untuk pedoman peniti cinta

Jika kau selam hati ini
Pastinya engkau kan mengerti
Betapa sucinya cintaku
Jangan diragu

Jika kau rasa getarnya
Debaran kasih cinta yang meronta
Nilai kasihku padamu
Cukup berharga

Kenyataan yang zahir dan bathin

Allah Pencipta segala sesuatu

Ingat Allah sentiasa

Demi masa manusia dalam kerugian